A.PENDAHULUAN
|
Imam Al-Ghazali
(1058-1111 M) dikenal sebagai ulama yang banyak mengkritik pendapat para
filosof pendahulunya, seperti Aristoteles (382-322 SM), Al-Farabi (874-999
M), Ibn Sina (980-1037) dan lain-lain. Adapun pendapat mereka yang ia kritik
adalah 20 masalah metafisika. Tiga diantaranya Al-Ghazali mengatakan bahwa
filsafatmereka membawa kepada kekufuran yaitu:
Sedang masalah
metafisika yang lainnya Al-Ghazali mengidentikkan mereka dengan Mu’tazilah.
Sebagai pembelaan atas
kaum filosof terhadap serangan-serangan Al-Ghazali, Ibn Rusyd (1126-1198 M)
menulis buku yang berjudul “Tahafut al-Tahafut” (kekacauan diatas kekacauan),
sebagai bantahan dan jawaban terhadap buku Al-Ghazali yang berjudul “Tahafut
al-Falasifah” (kekacauan pemikiran filosof-filosof).
|
B. Kritik al-Ghazali.
|
al-Ghazali berpendapat
bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika bertentangan dengan ajaran
Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme muslim
(Al-Farabi dan Ibn Rusyd), yaitu dalam masalah alam tidak bermula (qadim),
Tuhan tidak mengetahui perincian dalam dan pembangkitan jasmani tidak ada.3
1.Alam Qadim
Dikalangan pemikir
Yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti tidak
ada awalnya.4 Dan faham ini juga dianut para filosof muslim seperti Al-Farabi
dan Ibn Rusyd, mereka membuat beberapa alasan yaitu:
Tuhan lebih dahulu
daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat (tingkatan),
seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya,
seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang gerakan
tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari
segi zaman. Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi
zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman
tersebut, sudah terdapat suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat
didalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam.
Tiap-tiap yang baru
didahului oleh bendanya.
Tiap-tiap yang baru
didahului oleh bendanya untuk didapat dikatakan bahwa benda itu baru. Yang
baru hanyalah form, sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan
kepada benda.5
Al-Ghazali menjawab
alasan-alasan para filosof tersebut dengan membedakan antara iradat yang
qadim dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak Allah yang azali adalah
mutlak, artinya bisa memilih sewaktu-waktu tertentu, bukan waktu lainnya,
tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendakNya sendiri.
Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak
lagi bebas.6
Menurut al-Ghazali,
terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah maksudnya adalah bahwa tuhan
sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian Ia menciptakan alam,
hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan pertama adanya zat
Tuhan yang sendirian dan pada keadaan yang kedua adanya zat Tuhan zat alam,
sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada ada benda (
alam) tentu saja belum ada alam.
Selanjutnya menurut
Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, bebas dari
lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dnegan dirinya, dengan
hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan hukum-hukumnya bertopang padaAllah.
Dia lah yang mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan dan mematikan
segala sesuatu.7
Dengan demikian
menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula tidak dapat
diterima dalam teologi Islam. Sebab, menurut teologi Islam Tuhan adalah
pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari
tiada (creatio ex nihilo). Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak
diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al Qur’an
menyebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali
alam haruslah hadist (Bermula).8 Jika alam qadim berarti ada banyak yang
qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak perlu adanya
Tuhan sang pencipta.9
2. Tuhan tidak
mengatahui hal-hal juz’iyyah.
Para filosof
berpendapat bahwa tuhan tidak mengatahui hal-hal kecil kecuali yang dengan
cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu
berubah, sedangkan ilmu selalu tergantung kepada yang diketahui atau dengan
kata lain perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau
ilmu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti
Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin
terjadi.
Misalnya pada
peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak gerhana dan gerhana
akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak ada dan ketika
terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu
ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada
gerhana lagi. Dari contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa
menggantikan pengetahuan yang lain.
Tuhan mengetahui
gerhana dengan segala ifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi dan tidak
berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai terjadinta gerhana.jadi ilmu
Tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh
sebab-sebab lain yang sifatnya juz’i.
Menurut Al-Ghazali,
ilmu adalAh suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat.
Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam
keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di sebelah
kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya yang
berubah adalah kita bukan Dia.
Argumentasi Al-Ghazali
ini juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk bahwa Tuhan
mengetahui yang juz’iyah seperti firmanNya dalam Surah Al-Hujurat Ayat
16:
16. Katakanlah:
"Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal
Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu?"
Dalam Surah Yunus Ayat
61:
“Tidak luput dari
pengetahuan Tuhan biarpun sebesar Zarrah di bumi ataupun di langit, tidak ada
yang lebih kecil dan tidak pula yang besar dari itu.”
3. Tidak ada
kebangkitan jasmani
Para filosof
berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian, bukan materil. Karena
perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada alam materil. Karena itu
pikiran tidaklah mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau
siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya.12
Pada intinya menurut
mereka mustahil manusia dibangkitkan kembali dengan jasad yang semula, sebab
jasad tersebut telah hancur dan terurai menjadi bahan makanan dan menjadi
bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia
lainnya.
Al-Ghazali berpendapat
bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati, karena ia merupakan substansi
yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut tidak berlawanan dengan syara’,
bahkan ditunjukkan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an dalam Surah Yasin ayat
78 dan 79:
“ia berkata: “siapakah
yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?,katakanlah:
“ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.”
|
D. Pembelaan Ibnu
Rusyd.
|
Para filosof seperti
Ibn Rusyd menolak kritik tersebut. Pembelaan tersebut akan diuraikan sebagai
berikut:
Tentang qadimnya alam
Ibn Rusyd13 dalam
kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari kebenaran, lewat
penafsirannya terhadap Al-Qur’an secara rasional telah menawarkan keselarasan
antara agama dan filsafat serta tentang ketidak bermulaan alam ini.14 Ibn
menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikannya alam dari tiada
itu tidak berdasar pada argumen syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat
yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu ia menjadikan
alam: pendapat bahwa pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan ( seperti
pendapat Al-Ghazali), menurut Ibn Rusyd hanyalah merupakan interprestasi kaum
theologi semata, karena Alquran al-Karim telah mengatakan bahwa alam ini bukan
dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu yang ada, seperti yang disebutkan
dalam surah al-Hud:
“Dan Ialah yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan tahtanya pada waktu itu
berada di atas air”
Dapat diambil
kesimpulan sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu
air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan. Tegasnya sebelum langit
dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan tahta.15 Dan dari surah al
fushilat ayat 11 yang artinya: kemudian ia pun naik ke langit sewaktu ia
masih merupakan uap. Dapat dipahami bahwa sebelum alam ini diciptakan telah
ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut Ibn Rusyd, benda-benda itulah
yang merupakan cikal bakal terjadinya alam. Alam dalam arti umumnya adalah
kekal dari sejak zaman lampau atau qadim.16
Ibn Rusyd berpendapat
bahwa benar ada penciptaan oleh Tuhan, tetapi penciptaan yang berlangsung
terus menerus setia saat dalambentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua
bagian alam berubah dalam bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta
aktif yang terus menerus inilah yang harus disebut pencipta.
Untuk memperkuat
pendapatnya tentang kekekalan alam itu Ibn Rusyd lebih lanjut merujuk kepada
surah Ibrahim ayat 48 yang menjelaskan bahwa alam ini berkelangsungan dan
diwujudkan terus menerus. Dengan alasan itu menurutnya bahwa pendapat para
filosof tersebut tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim.
2. Tentang Pengetahuan
Tuhan.
Ibn Rusyd menyatakan
bahwa Al Ghazali telah memahami pendapat para filosof bahwa Tuhan tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam ini. Para filosof , kata Ibn Rusyd,
tidak pernah menyatakan demikian, yang dikatakan oleh para filosof terutama
Ibn Sina ialah bahwa cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat khusus ini
melalui ilmuNya yang bersifat kully.18 dan dengan mengetahui sebab-sebabnya
saja Tuhan dapat mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara
tidak langsung. Dengan kata lain segala peristiwa yang terjadi di alam ini
telah diketahui oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud
dalam bentuknya yang konkrit. Karena ilmuNya terhadap sesuatu itu adalah
menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula
hal-hal yang kecil (juz’iyat), maka berarti pengetahuan Tuhan disebabkan oleh
hal-hal yang kurang sempurna, dan hal ini tidak wajar bagi Tuhan.19
Menurut Ibn Rusyd,
untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak membutuhkan alat indra sebagai mana
manusia, jika Al-quran menggambarkan Tuhan mendengarkan dan melihat hal itu
tidak dapat diartikan secara fisik, dan hal itu dimaksudkan untuk
menginginkan manusia agar mengetahui bahwa Tuhan tidaklah dapat
dihalang-halangi oleh jenis pengetahuan macam apapun. Karena Ia melihat dan
mendengar segala secara dengan caranya sendiri. Jadi tuhan tidak mengetahui
segala sesuatu secara juz’I sebagaimana halnya manusia.
3. Tentang kebangkitan
jasmani
Dalam memnantah
gugatan Al-Ghazali tentang perkara ini,ibn rusyd mengatakan bahwa para
filosif tidak mengingkari adanya kebangkitan, hanya saja ada yang berpendapat
bahwa kebangkitan tersebut secara ruhaniah bukan materi. Meskipun demikian
Ibn Rusyd tidak mau menafikan kemungkina adanya kebangkitan jasmani bersama
ruhani. Tetapi kalaupun ada kebangkiatan jasmani, namun bukanlah jasad yang
ada didunia, sebab jasad tersebut telah hancur dan lenyap disebabkan
kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti
semula.20
Di dalam surga
terdapat sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak pernah
terdengar oleh telinga, mengindikasikan bahwa di dalam Surga bahwa nannti
manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh karena itu ayat Al-Quran mengenai
hal ini harus difahami secara metaforis.
Lebih lanjut Ibn rusyd
menganalogikan antar tidur dan kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan
antara tidur dan kematian itu merupakan bukti yang terang untuk menyatakan
bahwa jiwa itu hidup terus, karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat
tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan
atau kehidupan jiwa itu tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya
keadaan jiwa pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur.21
Selanjutnya Ibn Rusyd
menyatakan al-Ghazali sebagai orang yang tidak konsisten. Dalam bukunya
Tahafut al-Falasafah ia mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak hanya badan,
tetapi dalam bukunya yang lain ia mengatakan kebangkitan bagi kaum sufi hanya
akan terjadi dalam bentuk alam ruhani dan tidak dalam bentuk jasmani. Tetapi
meskipun demikian menurut Ibn Rusyd, teori pembangkitan jasmani dan ruhani
itu diperlukan bagi orang awam.22
|
E. PENUTUP
|
Dari penjelasan diatas
bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antara
Al-Ghazali dan kaum filosof tentang arti baru dan qadim. Baru menurut
Al-Ghazali berati mewujudkan dari tiada, sedangkan menurut kaum filosif kata
itu berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan qadim
menurut Al-Ghazali ialah suatu yang berwujud tanpa sebab,sedangkan menurut
kaum filosof adalah tidak selalu tanpa sebab bisa juga bererti sesuatu yang
berwujud dengan sebab.
Al-Ghazali telah salah
memahami pendapat para filosof, bahwa sebenarnya para filosof tidak
mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya partikular,
namun untuk mengetahui hal itu Tuhan dapat mengetahuinya dengan pengetahuan
tuhan yang sifatnya kully.
Dalam persoalan
jasmani, Ibn Rusyd dan Al-Ghazali tidak jauh berbeda karena Ibn Rusyd tidak
menafikan adanya pembangkitan jasmani dan ruhani, tetapi itu dipergunakan
untuk penjelasan bagi orang awam karena hal-hal yang bersifat ruhani jauh
lebih tinggi daripada hal-hal yang bersifat materil.
|
Daftar Pustaka
|
==============
|
Mainkan semua jenis permainan dalam 1 User ID dan dapatkan bonus welcome 50% serta bonus deposite 10% tanpa syarat dan Rollingan 1% setiap minggu nya :)
ReplyDeleteARTIKEL SLOT
ARTIKEL POKER
ARTIKEL CASINO
DAFTAR SLOT
DAFTAR POKER
SLOT VAVA
AGEN PLAYTECH
AGEN SLOT GAME
AGEN JOKER123
MABAR99
AGEN POKER ONLINE
BANDAR CEME
AGEN OMAHA
SLOTACE333
AGEN CASINO ONLINE TERBAIK
LIVE CASINO
BANDAR CASINO
CASINO ONLINE
ROULETTE