Showing posts with label MAKALAH. Show all posts
Showing posts with label MAKALAH. Show all posts

KHIYAR DALAM JUAL BELI

 


I.           PENDAHULUAN

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan syamil (menyeluruh) meliputi segenap aspek kehidupan, selalu memperhatikan berbagai maslahat dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Termasuk dalam maslahat tersebut adalah sesuatu yang Allah syariatkan dalam jual beli berupa hak memilih bagi orang yang bertransaksi, supaya dia puas dalam urusannya dan dia bisa melihat maslahat dan madharat yang ada dari sebab akad tersebut sehingga dia bisa mendapatkan yang diharapkan dari pilihannya atau membatalkan jual belinya apabila dia melihat tidak ada maslahat padanya.

 

II.        RUMUSAN MASALAH

A.        Apa Definisi Khiyar?

B.        Bagaimana Hukum Dasar Khiyar ?

C.        Apa Saja Macam-Macam Pembagian Khiyar ?

D.        Apa Tujuan dan Hikmah dalam Khiyar ?

 

III.      PEMBAHASAN

A.        Definisi khiyar

Khiyar secara bahasa adalah kata nama dari ikhtiyar berarti mencari yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkannya. Sedangkan menurut istilah kalangan ulama’ fiqh yaitu mencari yang baik dari dua urusan baik berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Dari sini terlihat bahwa makna secara istilah tidak begitu berbeda dengan maknanya secara bahasa. Oleh sebab itu, sebagian ulama terkini mendefinisikan khiyar secara syar’i sebagai “hak orang yang berakad dalam membatalkan akad atau meneruskannya karena ada sebab-sebab secara syar’i yang dapat membatalkannya sesuai dengan kesepakatan ketika berakad.[1]

Khiyar juga berarti boleh memilih antara meneruskan akad jual beli atau mengurungkan (menarik kembali, tidak jadi jual beli). Adakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslakhatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu.[2]

B.        Dasar Hukum Khiyar

Tentang kebolehan khiyar, hal itu dipegangi oleh jumhur fuqaha’, kecuali ats-Tsauri, Ibnu Abi Syubrumah dan sekelompok ahli Zhahiri.

Jumhur fuqaha’ dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra.:

اَلبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِمَالَمْ يَفْتَرِقَااِلاَّبَيْعَ الْخِيَارِ

Penjual dan pembeli adalah dengan hak khiyar selama keduanya belum berpisah, kecuali jual beli khiyar.

 

Tentang masa khiyar bagi fuqaha’ yang membolehkannya maka menurut Imam Malik pada dasarnya tidak ada batasan tertentu, melainkan ditentukan berdasarkan besar kecilnya keperluan dengan memandang kepada macam-macamnya barang. Dengan demikian masa tersebut berbeda-beda menurut perbedaan barang yang dijual. Ia mengatakan, “seperti satu atau dua hari dalam memilih baju, satu minggu atau lima hari dalam memilih hamba perempuan, dan sebulan atau di sekitar itu dalam memilih rumah”. Secara ringkas Imam Malik tidak membolehkan masa yang panjang yang berisi di dalamnya kelebihan dalam memilih barang yang di jual.

Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa masa khiyar itu tiga hari dan tidak boleh lebih dari itu.

Imam Ahmad, Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan berpendapat bahwa khiyar dibolehkan hingga masa yang disyaratkan. Daud juga mengemukakan pendapat seperti ini.

Fuqaha’ berselisih pendapat tentang khiyar mutlak tanpa dibatasi pada masa tertentu.

Ats-Tsauri, al-Hasan bin al-Jinni dan sekelompok fuqaha’ berpendapat, bahwasanya dibolehkan mengadakan syarat khiyar mutlak, sehingga bagi yang mengadakan syarat boleh memiliki khiyar selamanya.

Imam Malik berpendapat bahwa khiyar secara mutlak dibolehkan, tetapi penguasa menetapkan masa khiyar seperti itu.

Sedang Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa khiyar mutlak tidak dibolehkan sama sekali, dan jual beli pun menjadi rusak.

Tetapi antara Imam Abu Hanifah dan Syafi’i sendiri terdapat perbedaan dalam hal, jika terjadi khiyar tiga hari pada masa khiyar mutlak.

Imam Abu Hanifah bependapat, bahwa jika terjadi khiyar pada tiga hari maka dibolehkan, tetapi jika lewat tiga hari maka jula beli menjadi rusak. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i, bahwa bagaimanapun juga, jual beli menjadi rusak jika melewati tiga hari.[3]

 

C.        Macam-macam khiyar

1.      Khiyar majlis

Khiyar majlis adalah hak untuk memilih, baik untuk si pembeli maupun si penjual, selama keduanya masih ditempat jual-beli. Khiyar majlis boleh dalam semua jual-beli. Sabda Rasulullah:

عن حكيم بن حزام رضي الله عنه ان النبي ص.م قال: البيعان بالخيارمالم يتفرق فان لم صدقا وبينابورك لهما فى بيعهماوان كتمم وكذبامحقت بركة بيعهما (رواه البخارومسلم وابوداود)

Artinya:

“Hakim bin Hizam ra. Ia berkata: “Nabi SAW bersabda: “penjual dan pembeli  mempunyai hak khiyar selama keduanya belum berpisah jika keduanya saling membenarkan dan menerangkan (ada atau tidaknya cacat) diberkahilah jual-beli mereka dan jika keduanya saling dusta dan memnyembunyikannya maka dihapus jual-belinya”.(HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud ).

 

Habisnya khiyar majlis ini adalah dengan:

1)      Memilih keduanya akan diteruskan akad. Apabila memilih salah seorang saja, maka habislah khiyar baginya sedang yang lainnya masih tetap.

2)      Dengan berpisah keduanya dari tempat jual-beli. Arti berpisah, menurut adat kebiyasaan.[4]

 

2.      Khiyar Syarat

Khiyar Syarat adalah penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun pembeli. Seperti seseorang berkata,”saya jual rumah ini dengan harga 100.000.000,-  dengan syarat khiyar selama tiga hari.[5]

عن ابن عمر رضي الله عنهماقال: ذكررجل لنبي ص.م انه يخدع فى البيوع فقال النبي ص.م اذا أنت بايعت فقل لاخلابة, ثم انت فى كل سلعة ابتغتهابالخيارثلاث ليال, ان رضيت فأمسك وانسخطت فارددهاعلى صاحبها. (رواه البخار)

 

Artinya:

“Ibnu Umar ra. Ia  berkata: “seorang laki-laki dilaporkan pada Nabi SAW bahwa ia tertipu dalam jual-beli. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “ apabila kamu membeli berkatalah. “tak ada penipuan dalam Islam itu.” Kemudian sesudah itu kamu berhak khiyar selama tiga hari tiga malam atas barang-barng yang telah kamu beli, jika kamu rela teruskan dan jika kamu benci kembalikan pada pemilik atau penjualnya.” (HR. Bukhari).

 

Barang yang terjual sewaktu dalam masa khiyar merupakan kepunyaan orang yang mensyaratkan khiyar (jika yang khiyar hanya salah seorang dari mereka), tetapi kalau kedua-duanya mensyaratkan khiyar, maka barang itu tidak dimiliki oleh salah seorangpun dari keduanya. Jika jual-beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual-beli tidak teruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual-beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafal yang jelas menunjukkan terus atau tidaknya jual-beli.[6] Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung mulai waktu akad.[7]

3.      Khiyar ‘Aib

Khiyar ‘Aib adalah apabila si pembeli mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik, atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum diterimanya. Keterangannya adalah ijma’ (sepakat ulama mujtahid).

روت عائشة رضي الله عنهاان رجلاابتاع غلامافاقام عنده ماشاء الله ثم وجدبه عيبا فخاصمه الى النبي ص.م فرده عليه (رواه احمدوابوداودوالترمذي)

 

Artinya: Aisyah telah meriwayatkan, “ bahwasanya seorang laki-laki telah membeli seorang budak, budak itu tinggal beberapa lama dengan dia, kemudian kedapatan bahwa budak itu ada cacatnya, lalu dia adukan perkaranya kepada Rasulullah SAW, Keputusan dari beliau, budak itu dikembalikan kepada si penjual.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).

 

Adapun cacat yang terjadi sesudah akad sebelum barang diterima, maka barang yang dijual sebelum diterima oleh si pembeli masih dalam tanggungan si penjual. Kalau barang ada di tangan si pembeli, boleh di kembalikan serta diminta kembali uangnya. Akan tetapi, kalau barang itu tidak ada lagi, umpamanya barang yang dibeli itu kambing, sedangkan kambingnya sudah mati, atau yang di beli tanah, sedangkan tanah itu sudah di wakafkannya, sesudah itu si pembeli baru mengetahui bahwa yang di belinya itu ada cacatnya, maka dia berhak meminta ganti kerugian saja sebanyak kekurangan harga barang sebab adanya cacat itu.[8]

Syarat-syarat pengembalian barang yang dijual (mabi’) yang ccat adalah:

1.         Barang yang di jualnya cacat menurut anggapan umum. Misalnya, membeli kuda kebiri. Kebiri bagi kuda menurut kebiasaan di anggap cacat. Sebab pembelian kuda itu biasanya untuk melahirkan keturunan. Berlainan halnya dengan membeli hewan untuk dimakan. Maka biarpun keadaan kebiri (mandul) dianggap bukan cacat yang memberikan hak untuk pengembalian.

2.         Cacatnya tidak mudah dihilangkan, bila tidak dengan susah payah membeli kain yang masih ada merk dagangannya dan mudah dihilangkan dengan dicuci tidak boleh dikembalikan dengan alasan cacat.

3.         Cacat terjadi ketika barang masih ditangan penjual.

4.         Cacat tidak hilang sebelum jual beli di batalkan. Akan tetapi apabila sebelum dibatalkan, cacatnya sudah hilang, maka barang yang sudah dibelinya itu tidak dapat dikembalikan.[9]

 

IV.     KESIMPULAN

 

DAFTAR PUSTAKA

Azam, Abdul Aziz Muhammad.  Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah. 2010

Rosjid , Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar baru al-gensindo. 1994

Rusyd, Ibnu.  Bidayatul Mujtahid.  terj. M.A. Abdurrahman, dan A.Haris Abdullah. Semarang: asy Syifa’. 1990

Syaifullah, Mohammad. Fiqih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit Terang, t.t

Suhendi, Hendi. Fiqih Mualamah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2008



[1] Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), cet. 1, hlm. 99

[2] H. Sulaiman Rosjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar baru al-gensindo, 1994), hlm. 286

[3]  Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, dan A.Haris Abdullah, (Semarang: asy Syifa’, 1990), cet.1, hlm. 172-173

[4] Moh. Syaifullah, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, t.t), hlm. 343-344

[5] Hendi Suhendi, Fiqih Mualamah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 83-84

[6] Sulaiman rasyid, Op.Cit, hlm. 287

[7] Moh. Syaifullah, Op.Cit  hlm. 345

[8]  H. Sulaiman Rasjid, Op.Cit, hlm.287-288

[9] Moh. Saifulloh, ibid, hlm. 346

MAKALAH PERNIKAHAN

 

I.            PENDAHULUAN

Pada dasarnya suatu makhluk didunia ini diciptakan Allah secara berpasang-pasangan, oleh karena itu sebagai makhluk ciptaanNya kita dianjurkan untuk menikah, dan itupun termasuk dalam sunnah Rasul yang sebaiknya kita ikuti. Manusia dianjurkan untuk menikah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat, zina misalnya. Perbuatan itu umumnya marak dizaman sekarang ini terutama dikalangan anak muda, hal itu sudah hampir menjadi hal yang wajar, oleh karena itu dengan pernikahan maka hal tersebut dapat di antisipasi. Menikah juga dapat menutup pintu menuju kemaksiatan tersebut, bahkan jika seseorang memenuhi anjuran untuk menikah, maka pahala akan menantinya, oleh karena itu pernikahan seakan menjadi hal yang sangat urgen di kalangan kita, untuk itu kita perlu mengkajinya lebih jauh. 

II.          RUMUSAN MASALAH

Dalam pembahasan pernikahan ini, penyusun mengambil beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:

A.       Apa pengertian dari pernikahan?

B.       Ada berapakah hukum dalam pernikahan?

C.       Ada berapakah rukun dan syarat pernikahan itu?

D.       Ada berapakah kreteria mencari jodoh menurut Rasulullah?

 

III.         PEMBAHASAN

 

A.       Pengertian Pernikahan

pernikahan dalam literature fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah (نكاح) dan zawaj (زواج), yang keduanya memiliki arti kawin.[1] Sedangkan arti dari nikah sendiri adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajad (kebutuhan nafsu seksnya) yang diatur menurut tatanan syariat (agama), sehingga keduanya diperbolehkan bergaul sebagai suami istri.

Menurut pengertian sebagian fuqaha, perkawinan ialah:

عَقْدٌ يَتَضَتَمَنُ اَبَاحَةَ وَطَئٍ بِلَفْظِ النِّكاَحِ اَوِالـتَّزِوِيْجِ اَوْ مَعْنَا هُمَا

“Aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj atau yang semakna keduanya.

 

Sedangkan menurut para ahli hukum islam mutakh khiriin seperti yang ditulis oleh Abu Ishrah bahwa nikah atau ziwaj ialah:

عَقْدٌ يُفِيْدُ حَلَّ العُشْرَةِ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ وَتَعَاوَنُهُمَاوُيُحَدُّ مَالِكِلَيْهِمَامِنْ حُقُوْقِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ وَجِبَاتٍ

“aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri)antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan member batas hak bagi pemiliknya.”

 

Dari pengertian diatas bagian kedua menjelaskan bahwa perkawinan mengandung aspek hukum melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Kerena perkawinan termasuk pelaksanaan agama. Maka didalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridlaan Allah SWT.[2] 

Dalam kompilasi hukum islam, pengertian perkawinan dan tujuaannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2

Perkawinan menurut hokum islam adalah pernikahan, akaq yng sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang skinah mawaddah, dan rahmah. [3]

B.       Hukum Pernikahan

Sebelum masuk pada pembahasan hukum menikah perlu anda ketahui bahwa didalam hadits, pernikahan merupakan sunnah Rasul.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ: النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِى فَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ بِسُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمِ وَمَنْ كَانَ ذَاطَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ.[4]

Dari Aisyah ra. Rasulullah saw. bersabda: “nikah itu sebagian dari sunnahku barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka dia bukan dari golongan umatku dan nikahlah kaian semua. Karena sesunggahnya aku berlomba-lomba memperbanyak umat. Dan barang siapa yang mempunyai maskawin, maka nikahlah. Dan barang siapa yang tidak menemukan maskawin, maka hendaklah berpuasa, karena berpuasa itu sebagai kebiri baginya.

Hukum pernikahan itu sangat terkandung pada keadaan orang yang hendak melakukannya. Jadi, hokum nikah itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.        Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukum asalnya.

2.        Sunnat, bagi orang yang mampu berkehendak serta mampu member nafkah dan lain-lainnya.

3.        Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah, dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina). Seperti keterangan dalam hadits Rasulullah SAW.

حَدَّثَنَا اَبُوْ بَكْرِ بْنُ اَبِي شَيْبَةَ وَاَبُوْ كُرَيْبٍ. قَالاَ: حَدَّثَنَا اَبُوْمُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ يَزِيْدَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ قال: قَالَ لَنَا رَسُوْلَ اللهِ ص.م : يَا مَعْشَرَالشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،فَإِنَّهُ أَغَضُّرلِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.[5]

“Sudah diceritakan oleh Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Abu Kuraib kepada kita, mereka berkata: sudah diceritakan oleh Abu Mu’awiyah, dari a’masy, dari umarah ibn umar, dari Abdi ar-Rahman ibn yazid, dari abdillah. Ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Hai kaum pemuda, apabila diantara kalian mampu untuk kawin, kerena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu sebagai kebiri baginya.”  

 

4.        Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.

5.        Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahi.[6]

 

C.       Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menetukan suatu hokum terutama yang menyangkut dengan sah dan tidaknya. Perkawinan yang dimaksud disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan aqad  nikah itu sendiri. Dengan begitu rukun syarat perkawinan itu adalah segalahal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan, baik yang menyangkut unsur dalam, maupun unsur luarnya. Untuk setiap unsur itu berlaku pula beberapa syarat.[7]

Adapun rukun nikah telah ditetapkan harus ada lima hal sebagai berikut:

1.    Adanya seorang suami

2.    Adanya seorang istri

3.    Adanya wali

4.    Adanya mahar

5.    Adanya sighat (ungkapan khas menikahkan dan menerima nikah).[8]

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.

Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:

1.      Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri.

2.      Aqad nikahnya dihadiri para saksi.

Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnyasebagai berikut:

1)      Syarat-syarat Kedua Mempelai

a.       Syarat-syarat pengantin pria

1.    Beragama Islam

2.    Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki (bukan banci).

3.    Orangnya diketahui dan tertentu.

4.    Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.

5.    Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul istrinya halal baginya.

6.    Calon suami rela (tidak terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu.

7.    Tidak sedang melakukan ihram.

8.    Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

9.    Tidak sedang mempunya istri empat.

b.      Syarat-syarat pengantin wanita

1.    Baragama islam

2.    Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa

3.    Wanita itu tentu orangnya

4.    Halal bagi calon suami

5.    Wanita itu tidak dalam perkawinan dengan orang lain dan tidak dalam masa iddah.

6.    Tidak dipaksa

7.    Tidak dalam keadaan ihram, haji atau umrah.[9]

2)      Syarat-syarat aqad

a.    Aqad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.

b.    Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar.

c.    Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.

d.   Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadl yang jelas dan terus terng.

e.    Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan lafadz yang mengandung maksud membatasi perkawinan untuk masa tertentu.[10] 

3)      Syarat-syarat Wali

a.    Laki-laki.

b.    Baligh.

c.    Sehat (tidak gila).

d.   Tidak dipaksa.

e.    Adil.

f.     Tidak sedang ihram.[11]

4)      Syarat-syarat saksi

a.    Berakal, bukan orang gila

b.    Baligh

c.    Merdeka

d.   Islam

e.    Mendengar dan melihat[12]

 

 

D.       Kreteria Mencari Jodoh Menurut Rasul

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَافَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: “ seorang wanita itu dikawinkan karena empat perkara: “karena hartanya, karena kedudukannya(martabatnya), karena kecantikan dan karena agamanya maka kawinilah wanita yang mempunyai agama, niscayaengkau bahagia.”[13]

Sudah dijelaskan dalam hadits diatas bahwa kriteria mecari jodoh itu ada empat yaitu harta, kedudukan, kecantikan, dan agamanya, walaupun agama merupakan syarat terakhir yang disebutkan dalam hadits akan tetapi lebih prioritaskan pada agamanya.

 Walaupun pada hadits diatas hanya diutarakan persyaratan wanita, namun berlaku pula untuk laki-laki. Istri atau suami yang kuat imannya, maka lebih terpercaya jika ia berada jauh dari istri atau suaminya. Medapat pasangan yang kaya, indah rupawan wajahnya, ataupun bangsawan tetapi mereka semua tidak beragama dengan baik, maka tidak akan menikmati bagaimana rasanya hidup berumah tangga.

Mencari calon yang memenuhi keempat syarat itu sulit diperoleh, namun jadikanlah rasa beragamanya syarat mutlak, jika anda ingin berhenti tenang berdampingan hidup bersama keluarga nantinya.

Jika istri atau suami anda sedang lemah rasa beragamanya, maka berilah ia pendidikan agama, agar ketenangan rumah tangga anda terjamin ketenangannya.[14]   

 

IV.         KESIMPULAN

Nikah (نكاح) atau zawaj (زواج) adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajad (kebutuhan nafsu seksnya) yang diatur menurut tatanan syariat (agama), sehingga keduanya diperbolehkan bergaul sebagai suami istri.

Hukum nikah itu ada lima: jaiz sebagai hukum asal, kemudian sunnah, wajib, makruh, dan haram.

Adapun rukun nikah telah ditetapkan harus ada lima: Adanya seorang suami, adanya seorang istri, adanya wali, adanya mahar, dan adanya sighat.

Kriteria mencari jodoh ada empat yaitu: karena hartanya, karena kedudukannya(martabatnya), karena kecantikan dan karena agamanya maka kawinilah wanita yang mempunyai agama, niscaya engkau bahagia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. cet. 2. Jakarta: Akademika Presindo. 1995

Al-Asqalany, Imam Ibnu Hajar. Bulughul Maram. terj. Kahar Masyhur. jilid. 2. Jakarta: Rineka Cipta. 1992

Al-Tahami, Syekh Muhammad. Qurratul ‘Uyun. Rembang: Albagh. t.t

Daradjat, Zakiah. Dkk.  Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995

Ghazali, Abdurrahman. Fikih Munakahat. cet. 3. Jakarta: Kencana. 2003

Muhammad, Imam Abi Abdullah. Sunanubnu majah. juz. 2. Kairo: Darul Hitsam. 

Muslim. Shahih Muslim Kitab an-Nikah. cet. 3. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah. 2005

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. cet. 27. bandung: Sinar Baru Algensindo 1994

Syairifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana. 2003

Tihami, Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers. 2009

Bukhari. Shahih bukhari. terj. Achmad Sunarto, dkk. jilid. 7. Semarang: Asy-Syifa, 1993



[1] Amir Syairifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 73

[2] Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 37-38

[3] Abdurrahman, Kompilasi Hokum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), cet. 2, hlm 114

[4] Imam Abi Abdullah Muhammad bin Zaid Qazwin, Sunanubnu majah, (Kairo: Darul Hitsam, ), juz. 2, hlm. 216

[5] Muslim, Shahih Muslim Kitab an-Nikah, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2005), cet. 3, juz. 2, hlm. 593

[6] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. 27, hlm. 381-382

[7] Amir Syairifuddin, op. cit, hlm. 87-88

[8] Syekh Muhammad al-Tahami, Qurratul ‘Uyun, (Rembang: Albagh, t.t), hlm. 2

[9] Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), cet. 3, hlm. 50-56

[10] Amir Syairifuddin, op. cit, hlm. 88

[11] Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 13

[12] Abdurrahman Ghazali, op. cit, hlm. 64

[13] Bukhari, Shahih bukhari, terj. Achmad Sunarto, dkk, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), jilid. 7, hlm. 25

[14] Imam Ibnu Hajar al-asqalany, Bulughul Maram, terj. Kahar Masyhur(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), jilid. 2, hlm. 6-7