MAKALAH PERNIKAHAN

 

I.            PENDAHULUAN

Pada dasarnya suatu makhluk didunia ini diciptakan Allah secara berpasang-pasangan, oleh karena itu sebagai makhluk ciptaanNya kita dianjurkan untuk menikah, dan itupun termasuk dalam sunnah Rasul yang sebaiknya kita ikuti. Manusia dianjurkan untuk menikah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat, zina misalnya. Perbuatan itu umumnya marak dizaman sekarang ini terutama dikalangan anak muda, hal itu sudah hampir menjadi hal yang wajar, oleh karena itu dengan pernikahan maka hal tersebut dapat di antisipasi. Menikah juga dapat menutup pintu menuju kemaksiatan tersebut, bahkan jika seseorang memenuhi anjuran untuk menikah, maka pahala akan menantinya, oleh karena itu pernikahan seakan menjadi hal yang sangat urgen di kalangan kita, untuk itu kita perlu mengkajinya lebih jauh. 

II.          RUMUSAN MASALAH

Dalam pembahasan pernikahan ini, penyusun mengambil beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:

A.       Apa pengertian dari pernikahan?

B.       Ada berapakah hukum dalam pernikahan?

C.       Ada berapakah rukun dan syarat pernikahan itu?

D.       Ada berapakah kreteria mencari jodoh menurut Rasulullah?

 

III.         PEMBAHASAN

 

A.       Pengertian Pernikahan

pernikahan dalam literature fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu nikah (نكاح) dan zawaj (زواج), yang keduanya memiliki arti kawin.[1] Sedangkan arti dari nikah sendiri adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajad (kebutuhan nafsu seksnya) yang diatur menurut tatanan syariat (agama), sehingga keduanya diperbolehkan bergaul sebagai suami istri.

Menurut pengertian sebagian fuqaha, perkawinan ialah:

عَقْدٌ يَتَضَتَمَنُ اَبَاحَةَ وَطَئٍ بِلَفْظِ النِّكاَحِ اَوِالـتَّزِوِيْجِ اَوْ مَعْنَا هُمَا

“Aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj atau yang semakna keduanya.

 

Sedangkan menurut para ahli hukum islam mutakh khiriin seperti yang ditulis oleh Abu Ishrah bahwa nikah atau ziwaj ialah:

عَقْدٌ يُفِيْدُ حَلَّ العُشْرَةِ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ وَتَعَاوَنُهُمَاوُيُحَدُّ مَالِكِلَيْهِمَامِنْ حُقُوْقِ وَمَا عَلَيْهِ مِنْ وَجِبَاتٍ

“aqad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri)antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan member batas hak bagi pemiliknya.”

 

Dari pengertian diatas bagian kedua menjelaskan bahwa perkawinan mengandung aspek hukum melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Kerena perkawinan termasuk pelaksanaan agama. Maka didalamnya terkandung adanya tujuan/maksud mengharapkan keridlaan Allah SWT.[2] 

Dalam kompilasi hukum islam, pengertian perkawinan dan tujuaannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2

Perkawinan menurut hokum islam adalah pernikahan, akaq yng sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang skinah mawaddah, dan rahmah. [3]

B.       Hukum Pernikahan

Sebelum masuk pada pembahasan hukum menikah perlu anda ketahui bahwa didalam hadits, pernikahan merupakan sunnah Rasul.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ: النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِى فَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ بِسُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى وَتَزَوَّجُوا، فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمِ وَمَنْ كَانَ ذَاطَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ.[4]

Dari Aisyah ra. Rasulullah saw. bersabda: “nikah itu sebagian dari sunnahku barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka dia bukan dari golongan umatku dan nikahlah kaian semua. Karena sesunggahnya aku berlomba-lomba memperbanyak umat. Dan barang siapa yang mempunyai maskawin, maka nikahlah. Dan barang siapa yang tidak menemukan maskawin, maka hendaklah berpuasa, karena berpuasa itu sebagai kebiri baginya.

Hukum pernikahan itu sangat terkandung pada keadaan orang yang hendak melakukannya. Jadi, hokum nikah itu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.        Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukum asalnya.

2.        Sunnat, bagi orang yang mampu berkehendak serta mampu member nafkah dan lain-lainnya.

3.        Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah, dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina). Seperti keterangan dalam hadits Rasulullah SAW.

حَدَّثَنَا اَبُوْ بَكْرِ بْنُ اَبِي شَيْبَةَ وَاَبُوْ كُرَيْبٍ. قَالاَ: حَدَّثَنَا اَبُوْمُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنِ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ يَزِيْدَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ قال: قَالَ لَنَا رَسُوْلَ اللهِ ص.م : يَا مَعْشَرَالشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ،فَإِنَّهُ أَغَضُّرلِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.[5]

“Sudah diceritakan oleh Abu Bakar ibn Abi Syaibah dan Abu Kuraib kepada kita, mereka berkata: sudah diceritakan oleh Abu Mu’awiyah, dari a’masy, dari umarah ibn umar, dari Abdi ar-Rahman ibn yazid, dari abdillah. Ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda kepada kami: “Hai kaum pemuda, apabila diantara kalian mampu untuk kawin, kerena yang demikian itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu sebagai kebiri baginya.”  

 

4.        Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah.

5.        Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahi.[6]

 

C.       Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menetukan suatu hokum terutama yang menyangkut dengan sah dan tidaknya. Perkawinan yang dimaksud disini adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan segala unsurnya, bukan aqad  nikah itu sendiri. Dengan begitu rukun syarat perkawinan itu adalah segalahal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan, baik yang menyangkut unsur dalam, maupun unsur luarnya. Untuk setiap unsur itu berlaku pula beberapa syarat.[7]

Adapun rukun nikah telah ditetapkan harus ada lima hal sebagai berikut:

1.    Adanya seorang suami

2.    Adanya seorang istri

3.    Adanya wali

4.    Adanya mahar

5.    Adanya sighat (ungkapan khas menikahkan dan menerima nikah).[8]

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.

Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:

1.      Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri.

2.      Aqad nikahnya dihadiri para saksi.

Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnyasebagai berikut:

1)      Syarat-syarat Kedua Mempelai

a.       Syarat-syarat pengantin pria

1.    Beragama Islam

2.    Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki (bukan banci).

3.    Orangnya diketahui dan tertentu.

4.    Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.

5.    Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul istrinya halal baginya.

6.    Calon suami rela (tidak terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu.

7.    Tidak sedang melakukan ihram.

8.    Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

9.    Tidak sedang mempunya istri empat.

b.      Syarat-syarat pengantin wanita

1.    Baragama islam

2.    Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa

3.    Wanita itu tentu orangnya

4.    Halal bagi calon suami

5.    Wanita itu tidak dalam perkawinan dengan orang lain dan tidak dalam masa iddah.

6.    Tidak dipaksa

7.    Tidak dalam keadaan ihram, haji atau umrah.[9]

2)      Syarat-syarat aqad

a.    Aqad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.

b.    Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar.

c.    Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.

d.   Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadl yang jelas dan terus terng.

e.    Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan lafadz yang mengandung maksud membatasi perkawinan untuk masa tertentu.[10] 

3)      Syarat-syarat Wali

a.    Laki-laki.

b.    Baligh.

c.    Sehat (tidak gila).

d.   Tidak dipaksa.

e.    Adil.

f.     Tidak sedang ihram.[11]

4)      Syarat-syarat saksi

a.    Berakal, bukan orang gila

b.    Baligh

c.    Merdeka

d.   Islam

e.    Mendengar dan melihat[12]

 

 

D.       Kreteria Mencari Jodoh Menurut Rasul

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَافَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.

“Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: “ seorang wanita itu dikawinkan karena empat perkara: “karena hartanya, karena kedudukannya(martabatnya), karena kecantikan dan karena agamanya maka kawinilah wanita yang mempunyai agama, niscayaengkau bahagia.”[13]

Sudah dijelaskan dalam hadits diatas bahwa kriteria mecari jodoh itu ada empat yaitu harta, kedudukan, kecantikan, dan agamanya, walaupun agama merupakan syarat terakhir yang disebutkan dalam hadits akan tetapi lebih prioritaskan pada agamanya.

 Walaupun pada hadits diatas hanya diutarakan persyaratan wanita, namun berlaku pula untuk laki-laki. Istri atau suami yang kuat imannya, maka lebih terpercaya jika ia berada jauh dari istri atau suaminya. Medapat pasangan yang kaya, indah rupawan wajahnya, ataupun bangsawan tetapi mereka semua tidak beragama dengan baik, maka tidak akan menikmati bagaimana rasanya hidup berumah tangga.

Mencari calon yang memenuhi keempat syarat itu sulit diperoleh, namun jadikanlah rasa beragamanya syarat mutlak, jika anda ingin berhenti tenang berdampingan hidup bersama keluarga nantinya.

Jika istri atau suami anda sedang lemah rasa beragamanya, maka berilah ia pendidikan agama, agar ketenangan rumah tangga anda terjamin ketenangannya.[14]   

 

IV.         KESIMPULAN

Nikah (نكاح) atau zawaj (زواج) adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajad (kebutuhan nafsu seksnya) yang diatur menurut tatanan syariat (agama), sehingga keduanya diperbolehkan bergaul sebagai suami istri.

Hukum nikah itu ada lima: jaiz sebagai hukum asal, kemudian sunnah, wajib, makruh, dan haram.

Adapun rukun nikah telah ditetapkan harus ada lima: Adanya seorang suami, adanya seorang istri, adanya wali, adanya mahar, dan adanya sighat.

Kriteria mencari jodoh ada empat yaitu: karena hartanya, karena kedudukannya(martabatnya), karena kecantikan dan karena agamanya maka kawinilah wanita yang mempunyai agama, niscaya engkau bahagia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. cet. 2. Jakarta: Akademika Presindo. 1995

Al-Asqalany, Imam Ibnu Hajar. Bulughul Maram. terj. Kahar Masyhur. jilid. 2. Jakarta: Rineka Cipta. 1992

Al-Tahami, Syekh Muhammad. Qurratul ‘Uyun. Rembang: Albagh. t.t

Daradjat, Zakiah. Dkk.  Ilmu Fiqh. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. 1995

Ghazali, Abdurrahman. Fikih Munakahat. cet. 3. Jakarta: Kencana. 2003

Muhammad, Imam Abi Abdullah. Sunanubnu majah. juz. 2. Kairo: Darul Hitsam. 

Muslim. Shahih Muslim Kitab an-Nikah. cet. 3. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah. 2005

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. cet. 27. bandung: Sinar Baru Algensindo 1994

Syairifuddin, Amir. Garis-garis Besar Fiqh. Bogor: Kencana. 2003

Tihami, Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers. 2009

Bukhari. Shahih bukhari. terj. Achmad Sunarto, dkk. jilid. 7. Semarang: Asy-Syifa, 1993



[1] Amir Syairifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 73

[2] Zakiah Daradjat dkk, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 37-38

[3] Abdurrahman, Kompilasi Hokum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 1995), cet. 2, hlm 114

[4] Imam Abi Abdullah Muhammad bin Zaid Qazwin, Sunanubnu majah, (Kairo: Darul Hitsam, ), juz. 2, hlm. 216

[5] Muslim, Shahih Muslim Kitab an-Nikah, (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2005), cet. 3, juz. 2, hlm. 593

[6] Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. 27, hlm. 381-382

[7] Amir Syairifuddin, op. cit, hlm. 87-88

[8] Syekh Muhammad al-Tahami, Qurratul ‘Uyun, (Rembang: Albagh, t.t), hlm. 2

[9] Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), cet. 3, hlm. 50-56

[10] Amir Syairifuddin, op. cit, hlm. 88

[11] Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 13

[12] Abdurrahman Ghazali, op. cit, hlm. 64

[13] Bukhari, Shahih bukhari, terj. Achmad Sunarto, dkk, (Semarang: Asy-Syifa, 1993), jilid. 7, hlm. 25

[14] Imam Ibnu Hajar al-asqalany, Bulughul Maram, terj. Kahar Masyhur(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), jilid. 2, hlm. 6-7

No comments:

Post a Comment