Hadits Shahih Dan Hadits Hasan

 


     I.     PENDAHULUAN

Hadits merupakan hukum Islam yang ke dua setelah Al-Qur’an. Sebagai salah satu sumber otoritas Islam ke dua setelah Al-Qur’an, sejumlah literatur hadits memiliki pengaruh yang sangat menentukan dan menjadi sumber hukum dan inspirasi agama.[1] Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan, namun karena pembukuan hadits baru dilakukan beberapa tahun setelah Nabi wafat,  ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits dipalsukan, maka keabsahan hadits yang beredar dikalangan kaum muslimindiperdebatkan oleh para ahli.

Hadits itu terdiri dari yang diterima (yakni yang shahih) dan yang ditolak (yakni yang dlaif) itulah pembagian hadits secara garis besar. Tetapi para ahli hadits membagi hadits dalam tiga bagian: hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dlaif.[2] Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai hadits hasan dan hadits shahih.

      

  II.     RUMUSAN MASALAH :

1.      Pengertian Hadits Shahih dan Hadits Hasan

2.      Kriteria Hadits Shahih dan Hadits Hasan

3.      Macam-macam Hadits Shahih dan Hadits Hasan

4.      Contoh-contoh Hadits Sahih dan Hadits Hasan

 

III.     PEMBAHASAN

1.    Pengertian Hadits

a.         Hadits Shahih

Kata “shahih” berasal dari bahasa Arab, as-shahih, bentuk jamaknya asshiha’ dan berakar pada kata shahaha, dari segi bahasa kata ini memiliki beberapa arti, diantaranya yaitu selamat dari penyakit, bebas dari a’ib atau cacat. Sedang pengertian hadits adalah : khabar (berita).[3]

 

Pengertian Hadits Shahih secara istilah adalah

الحديث الصحيح هوالحديث الدى اتصل سنده بنقل العد ل الضا بط عن العدل الضا بط الى منتهاه ولايكون شاداولا معللا                                                                                                                  

Artinya: hadits yang bersambung sanadnya yang diriwatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat).[4]

b.        Hadits Hasan :

Dari segi bahasa, Hasan berasal dari kata al-khusnu, bermakna al-jamal, yang berarti keindahan. Menurut istilah Hadits Hasan adalah

هو ما اتصل سنده بنقل العدل الدي قل ضبطه وخلا من الشدود والعلة                                       

Artinya: “Hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke dhabitannya, tidak ada keganjilan, (syadz), dan tidak ada illat.”[5]

 

2.    Kriteria Hadits Shahih dan Hadits Hasan

Ada beberapa kriteria sesuatu hadits di katakan shahih apabila memenuhi beberapa syarat seperti :

a.       Mengenai sanad

1.      Semua rawi dalam sanad haruslah bersifat adil yakni :

a.       Selalu taat kepada Allah dan Rasulnya serta menjahui perbuatan maksiat

b.      Menjahui dosa kecil yang dapat merendahkan martabat dirinya

c.       Tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan penyesalan

2.      Semua rawi dalam sanad sangat haruslah bersifat dhabit. Rawi yang dhabit adalah rawi yang kuat hafalan sehingga dapat menyimpan hadits-hadits dengan baik dan benar.

3.      Sanadnya bersambung. Rawi tingkatan sahabat Nabi (tingkatan pertama) benar-benar berjumpa dan menyampaikan hadits pada rawi tingkatan kedua. Demikian pula rawi kedua dengan rawi ke tingkatan ke tiga dan seterusnya.

4.      Tidak rancu (syad)

Kerancuan adalah suatu kondisi dimana rawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Keadaan semacam ini dipandang rancu karena ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan, daya hafalan, atau jumlah mereka lebih banyak sehingga harus diunggulkan. Dan karena kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan Hadits yang bersangkutan.

5.      Tidak Cacat

Yang dimaksud tidak dengan cacat disini adalah terbebas dari cacat-cacat keshahihan pada sanad seperti pemalsuan rawi.[6]

 

b.      Mengenai Matan

1.    Pengertian yang terkandung dalam matan tidak boleh bertentangan dengan ayat Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir walaupun keadaan rawi sudah memenuhi syarat. Bila matan hadits dinilai bertentangan dengan ayat Al-Qur’an  atau hadits Mutarwatir, maka hadits itu tidak dipandang sebagai hadits Shahih.

2.    Pengertian matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati ulama, atau tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenarannya dapat dipastikan secara sepakat oleh para ilmuan.

3.    Tidak ada kejanggalan lainnya, jika dibandingkan dengan matan hadits yang lebih tinggi tingkatan dan kedudukannya.

Untuk kriteria hadits hasan hampir sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-annya. Hadits shahih ke-dhabith-an seluruh perawinya harus sempurna, sedang dalam hadits hasan, kurang sedikit ke-dhabith-annya jika dibandingkan dengan hadits shahih. ke-dhabith-an perawi hadits hasan nilainya memang kurang jika dibandingkan dengan perawi hadits shahih, karena ke-dhabith-an para perawi hadits shahih sangat sempurna.[7]

 

3.    Macam-macam Hadits Shahih dan Hadits Hasan

A.       Hadits Shahih :

Para ulama ahli hadits shahih kepada dua bagian, yaitu Shahih Li Dzatih dan Shahih Li Ghairih. Perbedaan antara keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan para perawinya. Berikut penjelasan dari ke dua hadits tersebut:

 

 

 

a.          Hadits Shahih Li Dzatih

Adalah hadits yang dirinya sendiri telah memenihi kriteria keshahihan sebagaimana yang disebutkan, dan tidak memerlukan penguat dari yang lainnya.[8] Contohnya seperti berikut:

“Qala rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: al-muslim man salima al-muslimun min lisanihi wa yadihi wa al-muhajir man hajara ma naha allahu anhu muttafaq alaihi ”

Artinya: Orang Islam adalah orang yang tidak mengganggu muslim-muslim lainnya, baik dengan lidah maupun tangannya, dan orang berhijrah itu adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanad sebagai berikut:

a.                   Adam ibn Iyas

b.                   Syu’bah

c.                   Ismail dan Ibn Safar

d.                  Al-Sya’by

e.                   Abdullah ibn Amr ibn Ash[9]

Rawi dan sanad al-Bukhari ini memenuhi semuanya memenuhi kriteria hadits Shahih Li Dzatih. Oleh karena itu, hadits tersebut termasuk dalam hadits Shahih Li  Dzatih.

b.         Hadits Shahih Li Ghairih

Adalah hadits yang shahihnya lantaran dibantu oleh keterangan yang lain. Jadi, pada diri hadits itu belum mencapai kualitas shahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkan sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits Shahih Li Ghairih.[10]

Contoh hadits tipe ini adalah hadits riwayat Imam Turmudzi melalui jalur Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

      عن ابي هر يرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قل: لو لا ان اشق علي امتي لا مرتهم با لسو اك عند كل صلاة (رواه البخارى والتر مدى)                                                     

 

 

Artinya:

“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Sekiranya aku tidak menyusahkan umatku, tentu aku menyuruh mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap solat.” [11]

Menurut Ibn al-Shalah, bahwa Muhammad bin ‘Amr terkenal sebagai orang jujur, akan tetapi ke-dzabith-annya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari melalui jalur al-A’raj dari Abu Hurairah yang haditsnya dinilai shahih. Oleh karena itu hadits riwayat Turmudzi tersebut naik menjadi Shahih Li Ghairih.[12]

 

B.       Hadits Hasan

Para ulama ahli hadits membagi hadits hasan menjadi dua bagian, yaitu

1.    Hadits Hasan Li Dzatih

Adalah hadits yang sanadnya bersambung, dinukil oleh periwayat yang adil dan dhabith, namun kedhabithannya tidak sempurna, meski tidak terdapat syadz dan ‘illat padanya.[13]

2.    Hadits Hasan Li Ghairih

Adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan, karena hadits lain yang menguatkannya atau hadits Hasan Li Ghairih adalah hadits dhaif yang karena dikuatkan oleh hadits yang lain, meningkat hasan.[14]

Contoh dari hadits Hasan Li Ghairih adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari jalan Syu’bah dari ‘Ashim ibn ‘Ubaidillah dari ‘Abdullah ibn ‘Amir ibn Rabi’ah dari ayahnya bahwa: “Seorang wanita dari bani Fazarah kawin dengan mahar sepasang sandal, maka Rasulullah SAW bertanya: “Apakah engkau merelakan dirimu sedangkan engkau hanya mendapat mahar sepasang sandal?” Maka wanita itu menjawab: “Rela, maka Rasul pun membolehkannya”.

Dari hadits diatas terdapat perawi yang bernama Ashim, yang dinilai oleh para ulama hadits sebagai perawi yang dha’if karena buruk hafalannya. Tetapi al-Thurmudzi menyatakan sebagai hasan, karena datangnya dijumpai sanad lain dari hadits tersebut melalui jalan lain.[15]

4.    Contoh-contoh Hadits Shahih dan Hadits Hasan

A.       Contoh Hadits Shahih sebagai berikut:

Diberitakan oleh Abdullah Ibn Umar bahwa Nabi SAW bersabda:

            بني الا سلا م على خمس شها دة ان لا ا له الاالله وان محمدارسول الله, واقام ا لصلاة وايتا ء الزكاة والحج وصوم رمضان                                                                                                                                  

Artinya: “Dibina Islam dari 5 perkara, yaitu: mengakui bahwasanya tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji, dan berpuasa di bulan ramadhan.”

Sanad hadits ini sampai kepada Bukhori melalui:

1.         Ubaidullah ibn Musa

2.         Mandhalha ibn Abu Sufyan

3.         ‘Ikrimah

4.         Ibnu Umar

5.         Shahihir Risalah s.a.w

Dan hadits ini sampai kepada Muslim melalui:

1.         Ubaidullah ibn Mu’adz

2.         ‘Ahim ibn Muhammad

3.         Muhammad ibn zaid

4.         Ibnu ‘Umar

5.         Shahihir Risalah s.a.w

Maka Bukhari dan Muslim sama-sama menerima hadits ini melalui Ibnu Umar r.a. dan karenanya dinamakan Muftakhaq ‘Alaihi.[16]

 

B.       Contoh Hadits Hasan sebagai berikut:

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abi Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda:

اعمار امتي ما بين الستين الي السبعين واقلهم من يجوز دلك                                                  

Artinya: ”Usia umatku sekitar antara 60-70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.”

Para perawi hadits diatas tsiqah semua kecuali Muhammad bin Amr dia adalah shaduq (sangat benar). Oleh para ulama hadits nilai ta’dil shaduq tidak mencapai dzabit tamm sekalipun telah mencapai keadilan, kedhobithannya kurang sedikit jika dibandingkan dengan ke-dhobith-an shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.[17]

 

   IV.          KESIMPULAN

Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya yang diriwatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat). Sedangkan hadits Hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke dhabitannya, tidak ada keganjilan, (syadz), dan tidak ada illat.

Untuk kriteria hadits hasan hampir sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-an perawinya.

Adapun pembagian dari ke dua hadits tersebut, yaitu: Hadits Shahih terdiri dari hadits Hadits Shahih Li Dzatih dan Hadits Shahih Li Ghairih. Sedangkan hadits Hasan terdiri dari Hadits Hasan Li Ghairih dan Hadits Hasan Li Dzatih.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad, dkk, 2000, Ulumul Hadits, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA

Amin, Phil. H. Kamaruddin, 2009, Metode Kritik Hadits, Jakarta: PT. Mizan Publika

As-Shalih, Subkhi, 1993, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus

Ash Shiddieqi, M. Hasbi, 1987, Pokok-Pokok ilmu Diroyah Hadits, Jakarta: PT. Bulan Bintang

Ichwan, Mohammad Nor, 2007, Study Ilmu Hadis, Semarang: RaSAIL

Khon, Abdul Majib, 2009,  Ulumul Hadits, Jakarta: AMZAH

Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, 2010, Ulumul Hadits, Yogyakarta: TERAS



     [1] Phil. H. Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadits, (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2009), hlm. v

    [2] Subkhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 129

     [3] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: TERAS, 2010), hlm. 244

     [4] Muhammad Ahmad, dkk, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2000), hlm. 101

     [5] Abdul Majib Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 159

     [6] Muhammad Ahmad, dkk, Op. Cit, hlm.103-104

 

     [7] Abdul Majib Khon, Op. Cit, hlm. 159

     [8] Mohammad Nor Ichwan, Study Ilmu Hadis, (Semarang: RaSAIL, 2007), hlm. 128

     [9] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Op. Cit, hlm. 249

     [10] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ibid, hlm. 250

     [11] Muhammad Ahmad, dkk, Op. Cit, hlm. 107

     [12] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit, hlm. 128

     [13] M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Op. Cit, hlm. 262

     [14] Muhammad Ahmad, dkk, Op. Cit, hlm. 116

     [15] Mohammad Nor Ichwan, Op. Cit, hlm. 132

     [16] M. Hasbi Ash Shiddieqi, Pokok-Pokok ilmu Diroyah Hadits, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), hlm.142-143

     [17] Abdul Majib Khon, Op. Cit, hlm. 160

 

No comments:

Post a Comment