INTERELASI NILAI
JAWA DAN ISLAM PERSPEKTIF EKONOMI
I.
PENDAHULUAN
Sebagai agama dakwah, Islam
tidak berhenti dan berada di luar realitas kehidupan manusia, tetapi masuk
keseluruh segi kehidupannya. Keberadaan Islam dalam masyarakat muslim baik
individu maupun sosial bersifat unik. Hal ini karena Islam tidak berusaha
membentuk kebudayan yang monolitik. Nyata bahwa masyarakat Islam di suatu
daerah dengan daerah yang lainnya tidak selalu memiliki produk kebudayaan yang
seragam (sama). Islam telah memberikan peluang kepada pemeluknya untuk
memelihara dan menegembangkan kebudayaan–kebudayaan masing–masing, sepanjang
tidak menyalahi dan melenceng jauh dari prinsip–prinsip universal dari Islam
sendiri.
Masyarakat Jawa dipercaya
memiliki kebudayan yang khas, dan masyarakat yang menjunjung tinggi sifat–sifat
luhur dan kebudayaan (termasuk berbagai macam seni, sastra dan kepercayaan)
yang dimilikinya.
Dalam konteks Indonesia,
kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting
karena dimiliki sebagian besar etnik terbesar di Indonesia. Nilai–nilai Islam
memiliki arti penting bagi kebudayaan Jawa karena mayoritas masyarakat Jawa
beragama dan memeluk agama Islam. Dengan demikian hubungan nilai Islam dengan
kebudayaan Jawa menjadi menarik karena keberadaan Islam dan kebudayaan Jawa
yang cukup dominan pada bangsa Indonesia.
Sementara itu persoalaan
ekonomi sebagai bagian dari realitas kehidupan masyarakat Jawa menarik untuk di
perbincangkan dan di diskusikan sehubungan dengan usaha sungguh–sungguh bangsa
Indonesia untuk meningkatkan efisiensi nasional dalam rangka memperbaiki
produk–produk Indonesia di pasar global yang semakin terbuka bebas
(terleberalisasi).
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
Pengertian dan Prinsip Ekonomi
B. Bagaimana Cipta dan Rasa Dalam Masyarakat Jawa.
C.
Bagaimana Golek Pesugihan.
D.
Bagaimana Slametan.
E. Bagaimana Ajaran Keseimbangan: Nilai Jawa dan Islam.
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Prinsip Ekonomi.
Kata ekonomi berasal dari
bahasa Yunani, aikonomia, kata tersebut barasal dari dua kata oikos yang
berarti rumah atau rumah tangga.dan nomois yang berarti aturan. Dengan
demikian kata ekonomi berarti aturan rumah tangga.[1]
Secara sederhana kata ekonomi
diartikan sebagai kegiatan manusia atau masyarakat untuk mempergunakan
unsur–unsur produksi dengan sebaik–baiknya guna maksud untuk memenuhi berbagai
kebutuhan. Oleh karena itu, proses ekonomi meliputi proses produksi barang dan
jasa, penukarannya dan pembagiannya, antara golongang masyarakat dan pemakainya
(konsumsi) dalam kehidupan sehari–hari.
Dalam kegiatan ekonomi manusia
mempunyai prinsip–prinsip yang bersifat universal, yang berarti prinsip ekonomi
berlaku dimana–mana. Prinsip ekonomi harus diberlakukan kapan saja dan di
manapun berada agar semua yang diberikan Tuhan (Peparinge Pangeran) dapat disyukuri dan dimanfaatkan sebaik–baiknya.[2]
Prinsip ekonomi adalah usaha
dengan pengorbanan sekecil–kecilnya untuk mendapatkan barang (benda dan jasa)
sebanyak–banyaknya.[3]
Prinsip ekonomi pada dasarnya
adalah prinsip rasional yang diterapkan dalam aspek kehidupan ekonomi, dan
terjelma dalam istilah efektif dan efesien. Efektif berarti input atau potensi
apa saja yang ada dan dimiliki hendaknya dipegunakan untuk mencapai dan
mendapatkan output berupa hasil, pendapatan, keuntungan, faedah dan lain–lainnya
secara maksimal. Efisien berarti untuk mencapai output tersebut hendaknya
digunakan faktor produksi, bahan, waktu, pengorbanan, atau input yang minimal.
Dengan kata lain, efektif adalah memaksimalkan output sedangkan efisien adalah
minimalisasi input.[4]
Dalam masyarakat Jawa, Prinsip
ekonomi dapat dijumpai dalam istilah–istilah atau konsep–konsep seperti cucuk
,pakoleh, ngirit, ghutuk, lumayan dan lain sebagainya. Sementara itu
istilah Jawa yang memiliki arti berlawanan dari istilah–istilah tersebut di atas
antara lain boros, tanpa pethung, awur–awuran, ya ben,
dipangan Bethara kala, dan lain sebagainya. Dengan mendalami secara
sungguh–sungguh kebudayan Jawa, maka akan dirasakan bahwa prinsip–prinsip
ekonomi masyarakat Jawa telah cukup tinggi nilainya, hal ini dapat kita
jumpai dari sifat–sifat rasional dan prinsip ekonomi yang dapat ditemukan dalam
kata kunci diantaranya ora ilok dan kuwalat.
Ora ilok adalah istilah yang berarti bertentangan dengan
prinsip rasional, akal sehat, atau tidak logis. Meludahi sumur dan menduduki
bantal misalnya adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip rasional. Hal
ini karena air sumur disediakan untuk kebutuhan minum orang banyak sedangkan
bantal adalah landasan kepala sewaktu tidur.
Kuwalat adalah kata kunci yang berarti bertentangan
dengan moral dan nilai moral yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Tidak
berani terhadap orang tua, melangkahi dan melompati kuburan orang tua dan tidak
merawat benda pusaka akan dikatakan kuwalat oleh pendukung dan
penganut budaya Jawa.
Dengan pemahaman mendalam
terhadap kenyataan tersebut secara mendasar, kita bisa mengetahui bahwa
masyarakat Jawa telah memiliki prinsip ekonomi/prinsip rasional yang cukup
tinggi dan telah menunjukkan salah satu prinsip ekonomi yaitu efesien.
B.
Cipta dan Rasa Dalam Masyarakat Jawa.
Dalam masyarakat Jawa dikenal
3 macam kodrat kemampuan manusia dalam menangkap kasunyatan (kenyataan),
yaitu cipta (akal, rasio, fikir dan penalaran), rasa (intiusi,
rajasati) dan karsa (kehendak). Kasunyatan yang dimaksud mengandung unsurunsur
suwung, temen, nyata, atau hampa, benar, dan nyata. Kasunyatan tak lain adalah
kebenaran dan kenyataan.[5]
Rasio atau cipta dipercaya
dapat mengarahkan manusia ke arah pertimbangan efektif dan efesien. Salah satu sifat
masyarakat Jawa khususnya, dan masyarakat timur umumnya, penggunaan rasio
dianggap sebagai ukuran kemajuan masyarakat. Selain rasio instrumen lain yang
dapat untuk mencapai kasunyatan adalah rasa, perasaan. Orang yang
telah dewasa (Wis jawa) dan orang pinter adalah orang yang dalam
pertimbangan maupun melakukan pekerjaannya sangat menonjolkan penggunaan
perasaannya. Beberapa istilah kunci seperti tanggap rasa, lantip ing
pangraita, sinamuning samudana sesadoning adu manis, dan lain–lain
adalah contoh penggunaan perasaan disamping penggunaan akal.
Tergambar pula masyarakat Jawa
lebih suka memecahkan masalah kehidupannya dengan sikap mawas diri dan
tepa selira agar dapat menghindari timbulnya konflik dengan orang lain. Dengan
cara menggalih, terasakan bahwa masyarakat Jawa telah mempraktekkan prinsip
ekonomi. Penggunaan rasio yang selanjutnya penggunaan rasa adalah upaya untuk
efesiensi dan efektifitas dalam lapangan sosial.
Dalam lapangan ekonomi
pengambilan keputusan yang awur-awuran tentu akan mengabaikan prinsip ekonomi. Proses pengambilan keputusan yang
dimomoti oleh prinsip ekonomi juga ditemukan pada rumus: neng-ning-nung-nang,
yang simbolisnya dapat ditemukan dalam bunyi–bunyian musik khas Jawa. Moh. Said
seorang pemimpin taman siswa memberikan uraian singkat tentang rumus tersebut
sebagai berikut.
Sebelum berbuat seseorang
harus memperhatikan bahwa perasaannya tenang terang dan diam (neng=meneng),
hanya dengan meneng jiwa itu akan menjadi jernih. (ning=bening), dan
dia akan berfikir dengan baik. (nung=anung), dengan cara itu, maka
akan diperoleh saat yang baik untuk memecahkan masalah dengan efektif, termasuk
bidang ekonomi. (nang=menang), usaha untuk mendapatkan kemenangan itu
harus diusahakan dan diupayakan. Namun demikian, nilai–nilai budaya Jawa
mengajarkan untuk tidak merasa menang dalam hubungannya dengan orang lain
apabila itu membawa korban (input yang sia–sia). Sekali lagi, prinsip ekonomi
juga tercermin dalam nilai tersebut. Menurut Sasrokartono hal itu diistilahkan menang
tanpao ngasorake.[6]
Penggunaan cipta dan karsa
secara terpadu ini mempunyai rujukan pada nilai–nilai Islam. Dalam persepektif
Islam intelek (al-Aql) dan spirit (al-Ruh) memiliki hubungan
yang dekat dan keduanya menunjukkan suatu realitas yang sama.
C. Golek Pesugihan.
Rumus neng-ning-nung-nang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan masyarakat Jawa antara lain dengan
adanya tradisi golek pesugihan. Kita dapat menjumpai tempat–tempat
yang dikeramatkan dan dianggap bermanfaat untuk mencari ketenangan dalam rangka
mencapai inspirasi, intuisi, dan aspirasi untuk memulai suatu pekerjaan.
Tempat–tempat yang dimaksud antara lain seperti gunung Srandil di Cilacap,
Kemukus di Sragen, Kawi di Malang dan Parang Tritis di Bantul.
Makna pentignya bukan pada
tempat itu sendiri tapi dari segi ekonomi tempat itu memberikan inspirasi,
intuisi, dan aspirasi untuk suatu usaha dan memberikan daya dorong yang kuat
untuk belajar dan bekerja dengan sungguh–sungguh sehingga seorang sukses dalam
melakukan usahanya.
Di samping tempat–tempat golek
pesugihan tersebut dalam masyarakat Jawa juga sering kita temui istilah golek
pesugihan bulus jinbun yang memberi petunjuk bahwa dalam usaha akan
berhasil bila dilakukan secara putih (tidak melakukan penipuan) dan jujur. Juga
kita dapat temukan istilah golek pesugiha Jaran pinoleh yang memuat nilai
positif yaitu menunjukkan bahwa seseorang yang ingin melakukan usaha ekonomi
harus melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari sebab mengapa seseorang dalam
usahanya bisa berkembang dan yang lain usahanya gagal.
Dalam kaitannya dengan bidang
ekonomi, Meditasi dan Semedi di tempat–tempat golek
pesugihan dapat memberikan inspirasi pelakunya untuk melakukan usaha–usaha
tertentu dan membangkitkan kesiapan mental untuk menghadapi berbagai
kemungkinan dan kendala. Disamping itu juga seseorang yang akan melakukan usaha
ekonomi semakin tersadarkan bahwa pekerjaan–pekerjaan ekonomi yang dipilihnya
menuntut tanggung jawab penuh.
Meditasi dan Semedi yang berhubungan
langsung dengan perilaku orang Jawa sebenarnya adalah bagian penting dari upaya
menyatukan diri dengan Tuhan. Sebagaimana tradisi kaum sufi yang biasanya juga
melakukan tradisi penyatuan diri manusia dengan Tuhan yang memungkinkan manusia
dapat memperoleh pengetahuan hakikat yang mengatasi pengetahuan empiris. Dengan
demikian ada titik singgung dan titik temu antara meditasi dan semedi dengan
tradisi para Sufi.
D. Slametan.
Inti kegiatan ekonomi dapat dibedakan
menjadi dua kategori yaitu produksi dan distribusi, baik berupa barang maupun
jasa. Ada juga definisi lain dengan memasukkan unsur konsumsi disamping
produksi dan distribusi.
Terhadap ketiga unsur pokok
kegiatan itu, perencanaan memiliki peran strategis. Perencanaan merupakan usaha
untuk menerapkan prinsip ekonomi. Apabila dalam menejemen kita jumpai istilah atau
unsur Planning, Organizing, Actuating, Controlling, maka perencanaan atau
planning dapat dijumpai dalam tradisi Slametan.
Slametan adalah suatu upacara yang biasanya
diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota–anggota keluarga, tetangga
dekat, kenalan dan orang–orang yang mempunyai hubungan dagang. Slametan sendiri
dilaksanakan dengan maksud memperoleh keselamatan, suatu yang dilaksanakan
dapat tercapai dengan selamat dan mencapai sukses dan tidak menimbulkan korban
baik fisik maupun non fisik.
Slametan yang diadakan sebelum usaha di mulai
merupakan ajaran perencanaan agar semua input dan unsur–unsur menejemen
dipertimbangkan. Sedangkan slametan yang dilaksanakan setelah atau pada akhir
melakukan usaha ekonomi mengajarkan tentang iman kepada Tuhan (terutama dengan
ucapan syukur dan bukti rasa syukur kepada Tuhan atas segala karunia dan rizqi
yang telah dilimpahkannya) dan juga merupakan ajaran perencanaan untuk
perawatan dan penggunaan.
Nilai–nilai Islam dan Jawa
kiranya bertemu dalam media slametan yang memuat nilai–nilai tertentu.
Kenyataan bahwa upacara slametan telah disentuh dengan ajaran Islam, seperti
masuknya unsur dzikir, penentuan waktu yang didasarkan pada hari–hari besar
Islam yang mengakibatkan efek slametan dapat menimbulkan getaran emosi
keagamaan. Maka pertemuan antara budaya Jawa dan Islam melalui slametan
menggariskan prinsip ekonomi pula.[7]
E. Ajaran
Keseimbangan : Nilai Jawa dan Islam.
Ajaran keseimbangan yang diajarkan oleh Islam
terlihat pada doktrin bahwa kekayaan mempunyai fungsi sosial. Diantara dalil–dalil
yang menunjukkan fungsi sosial tersebut adalah seperti pada :
Surat Al–A’raaf ayat 31 :
* ûÓÍ_t6»t tPy#uä (#räè{ ö/ä3tGt^Î yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uõ°$#ur wur (#þqèùÎô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) w =Ïtä tûüÏùÎô£ßJø9$# ÇÌÊÈ
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan”.[8]
Surat Az–Zukhruf ayat 32 :
óOèdr& tbqßJÅ¡ø)t |MuH÷qu y7În/u 4 ß`øtwU $oYôJ|¡s% NæhuZ÷t/ öNåktJt±Ïè¨B Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# 4 $uZ÷èsùuur öNåk|Õ÷èt/ s-öqsù <Ù÷èt/ ;M»y_uy xÏGuÏj9 NåkÝÕ÷èt/ $VÒ÷èt/ $wÌ÷ß 3 àMuH÷quur y7În/u ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÌËÈ
Artinya: “Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan
mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan”.[9]
Surat Adz–Dzariyaat ayat 19 :
þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ
Artinya: “Dan pada harta-harta
mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak
mendapat bagian”.[10]
Di samping itu Al-Qur’an juga dengan tegas melarang
penumpukan harta benda dalam arti penimbunan (QS. Al-Humazah: 2). Melarang orang mencari kekayaan dengan jalan yang tidak
benar (QS. Al-Imran: 188). Menganjurkan
agar penghasilan yang diperoleh dari hasil usaha dibelanjakan secara baik (QS. Al-Imran: 267) dan dalil–dalil yang lain.
Dalam berbagai dalil di atas
terasa bahwa kepemilikan harta bukanlah yang utama tetapi dorongan untuk
mengendalikan diri dan tidak mengumbar pemenuhan kebutuhan secara individual
semata adalah sangat utama. Dalam hal ini tersirat ajaran bahwa Islam mengajarkan
dan menggariskan prinsip–prinsip pemenuhan kebutuhan bukan “sekedar kebutuhan” sambil tetap menjaga
keseimbangan dengan yang lain.
Tidak hanya dalam bidang
konsumsi saja tetapi juga pemenuhan unsur produksi. Dalam Islam ada larangan
eksploitasi kekayaan alam yang dapat mengganggu harmonisasi kebutuhan generasi
sekarang dan yang akan datang. Menurut ajaran Islam pengendalian dalam hal
produksi dan konsumsi bertujuan agar supaya aspek sosial dari kekayaan yang
dimiliki dapat benar–benar fungsional.
Persoalan pengendalian diri
merupakan persoalan yang sama–sama mendapatkan perhatian dalam masyarakat yang
mendukung budaya Jawa dan ajaran Islam, dalam masyarakat Jawa sering digunakan
istilah Bethara Kala yang merupakan tokoh dalam tradisi Jawa dan
berfungsi sebagai simbolisasi waktu. Bethara Kala ini ketika dapat
ditundukkan sebenarnya dapat berarti bahwa sang waktu telah dapat dikuasai.
Sebaliknya apabila waktu tidak dapat dikuasai dalam arti tidak menghargai
waktu dan memanfaatkan waktu dengan sebaik–baiknya maka hal ini
disimbolkan dengan di makan Bethara Kala. Siapa saja yang ternyata di
makan Bethara Kala berarti telah mengabaikan unsur–unsur input dalam
proses produksi.
Tokoh Bethara Kala
jelas mengajarkan kemampuan mengendalikan diri untuk meminimalkan input dan
memaksimalkan output, termasuk berkaitan dengan penggunaan waktu, kesempatan,
dan peluang yang ada. Prinsip–prinsip ekonomi yang universal menemukan
ungkapannya secara simbolik dalam kebudayaan Jawa.[11]
VI. KESIMPULAN
Secara sederhana kata ekonomi diartikan sebagai kegiatan manusia atau
masyarakat untuk mempergunakan unsur–unsur produksi dengan sebaik–baiknya guna
maksud untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Dengan memperdayagunakan dari
rasio atau cipta dipercaya dapat
mengarahkan manusia ke arah pertimbangan efektif dan efesien. Sadangkan rumus neng-ning-nung-nang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan masyarakat Jawa antara lain dengan
adanya tradisi golek pesugihan.
Jika orang-orang Jawa untuk menyatakan terimakasih kepada
sangpencipta mereka
mengadakan Slametan. Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan
dihadiri oleh anggota–anggota keluarga, tetangga dekat, kenalan dan orang–orang
yang mempunyai hubungan dagang. Aaran keseimbangan yang diajarkan oleh Islam
terlihat pada doktrin bahwa kekayaan mempunyai fungsi sosial
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori, Islam dan Budaya Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, Cet I.
Anshari, Saifudin. Kuliah Al-Islam Pendidikan Agama Islam di PerguruanTinggi, Jakarta: Rajawali, 1980.
Ciptoprawito, Abdullah, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka,1986.
Dapartemen
Agama Republik Indoneaia, Al Quran dan Terjemah, Jakarta: CV. Alwah,
1995.
Prawiranegara,
Sjafruddin, Sistem
Ekonomi Islam, Jakarta: Balai Pustaka, 1967.
Suroso, IPS Ekonomi, Surakarta: CV. Tiga Serangkai, 1994, Cet VI,
No comments:
Post a Comment