PENDIDIKAN KRITIS

-->
Pendidikan kritis (critical pedagogy) adalah mazhab pendidikan yang meyakini adanya muatan politik dalam semua aktifitas pendidikan. Aliran ini dalam diskursus pendidikan disebut juga sebagai aliran kiri, karena orientasi politiknya yang berlawanan dengan mazhab liberal dan konservatif. Dalam konteks akademik, mazhab ini disebut dengan the new sociological of education atau critical theory of education. Henry Giroux
Problem kemiskinan masih menjadi misteri tak terpecahkan dalam ranah sosial masyarakat Indonesia. Berbagai pendekatan untuk memecahkan misteri dibalik lingkaran mata rantai kemiskinan seakan belum mampu menjawabnya secara utuh. Kemiskinan masih menjadi problem yang mengakar dalam kehidupan manusia Indonesia sekaligus mempengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat. Salah satunya pendidikan.
Pendidikan dalam perspektif sosial dilihat sebagai instrumen yang cukup efektif dalam memutus mata rantai kemiskinan struktural. Melalui pendidikan, dipercaya manusia akan diberdayakan atau dimampukan untuk secara proaktif memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusiawinya. Begitulah setidaknya pandangan kaum sosial konstruktivistik dalam memaknai peran korelatif pendidikan dalam pengentasan kemiskinan.
Pemahaman diatas secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi mainstream dan kebijakan pendidikan di Indonesia. Realitas kemiskinan yang cenderung semakin meningkat baik kuantitas maupun variannya dijawab dengan visi pendidikan yang kontributif terhadap pasar. Pendidikan dipahami sebagai alat produksi manusia-manusia handal dalam mempercepat pembangunan di Indonesia. Produk pendidikan nantinya diharapkan mampu merubah wajah Indonesia setidaknya sepuluh tahun kedepan dalam percaturan kompetisi ekonomi dunia. Pertanyaannya apakah benar bahwa dengan pembangunan, problem kemiskinan di Indonesia akan terselesaikan?
Logika pemerintah dalam mengurangi tingginya angka pengangguran sebagai faktor dominan dalam kemiskinan secara langsung atau tidak langsung juga mempengaruhi pola regulasi pendidikan di Indonesia. Dalam kurikulum pendidikan Indonesia 2006 yang lalu, dari KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sampai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dapat diindikasikan kentalnya pola-pola strategi ekonomi pemerintah. Dalam upaya pengurangan angka pengangguran, pemerintah menerapkan pola pengembangan skills bagi peserta didik. Melalui penerapan standard baku lulusan, pemerintah menjadi semacam quality controller yang menentukan produk-produk yang bisa dijual dan yang tidak. Bagi yang tidak memiliki nilai jual, layaknya di pabrik, pemerintah akan mendaurulangnya atau bila tidak barang-barang tersebut tetap dijual tetapi dengan standard uji kelas dua (baca: ujian persamaan) alias yang harganya lebih murah. Tidak peduli dengan proses produksi yang terjadi dalam pabrik, yang penting hasil produksi harus berkualitas dan siap dijual. Permasalahannya apakah produk layak dijual versi pemerintah memang benar-benar layak dijual?
Pada penghunjung 2006, pemerintah mulai menyadari logika lain dalam mengelola gerak roda pendidikan Indonesia. Walau begitu logika yang dipakai tetaplah logika yang dipengaruhi oleh realitas kemiskinan. Pemerintah dalam hal ini menetapkan peningkatan anggaran operasional bagi pendidikan dalam rangka pengurangan jumlah siswa putus sekolah akibat ketiadaan biaya. Pemerintah benar-benar berambisi untuk mengejar target 9 tahun wajib belajar bagi seluruh rakyat. Logikanya, dengan rakyat yang melek pendidikan, angka kemiskinan akibat pengangguran akan secara radikal menurun mengingat rakyat akan memiliki nilai jual dalam dunia perdagangan global.
Kemiskinan, Perdagangan global dan Sekolah    
Pola hegemoni kapitalisme ekonomi global ternyata nampak jelas dalam dinamika pendidikan Indonesia. Dalam arus ekonomi global, jumlah produksi harus terdistribusi secepat mungkin menembus batas ruang dan seluas mungkin menembus batas waktu demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya yang akhirnya akan menggerakan roda kehidupan manusia. Manusia dalam hal ini ditempatkan sebagai instrumen utama dalam produksi dan distribusi komoditas. Semakin berkualitasnya manusia, keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Itulah mengapa manusia kemudian ikut pula menjadi barang komoditas yang digunakan sebagai mesin uang para pemilik modal. Manusia yang tidak layak digunakan sebagai mesin uang tentunya tidak perlu dibeli dan digunakan. Inilah akar dari pengangguran.
Gramscie 1971, seorang filsuf ekonomi, memandang peran pemerintah dalam Negara dunia ketiga sebagai partner bisnis yang menguntungkan bagi korporasi ekonomi internasional. Peran pemerintah menjadi semacam penyedia lahan dan pekerja bagi para pemilik modal. Segala lini kebijakan pemerintah secara bergulir tetapi nyata mendesain kondisi yang menguntungkan bagi para pemilik modal untuk menanamkan investasinya. Tanpa mereka, para investor, Negara akan terlihat kacau, begitulah keyakinan para neo-liberalis.
Nilai humanisme dan nasionalisme akan hancur ditelan mentah-mentah oleh ideology neo-liberalisme yang diusung para kaum kapitalis, begitulah ramalan Gramscie pada tahun 1971 tentang kondisi Negara dunia ketiga pada era globalisasi. Pemerintah pun menjadi semacam perusahaan outsourcing yang menyediakan para pekerja handal yang siap digunakan. Disinilah letak sekolah kita, menjadi semacam pabrik sumber daya manusia bagi para pemilik modal. Tiada lagi nilai-nilai humanisme dan nasionalisme yang tampak nyata dalam dunia pendidikan kita. Akhirnya seluruh rakyat Indonesia akan menjadi robot yang patuh dan tidak inovatif karena memang itulah yang diusahakan dibentuk agar tetap laku di pasaran dunia kerja.
Akar kemiskinan tidak lagi dilihat sebagai akibat dari ekonomi global sebaliknya digunakan sebagai alasan utama untuk solider terhadap ideologi sesat itu. Seakan para investor adalah dewa yang secara karitatif akan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan akibat kemiskinan. Yang lebih menyedihkan lagi, bangsa kita seakan tidak berdaya menentang arus ini.
Pendidikan Indonesia Hari Ini
Melihat pola pengaruh ekonomi global dalam dunia pendidikan kita, tidaklah mencengangkan ternyata makna pendidikan kita sebagai alat pencerdasan bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 1945 semakin tereduksi. Sekolah sebagai agen pendidikan yang membentuk manusia Indonesia seutuhnya seperti yang dikatakan Driyarkara dalam buku kumpulan tulisan dan pemikirannya (2006) hanya menjadi isapan jempol belaka. Pembentukan manusia Indonesia, melalui rancangan kurikulum nasional 2006, hanya diarahkan pada pengembangan faktor kompetensi atau keunggulan skills. Keyakinan bapak pendiri bangsa kita, Soekarno, tentang fungsi pendidikan sebagai nation character builder seakan terlupakan atau bahkan dilupakan oleh para regulator pendidikan kita.
Makna dan konsep pendidikan yang sebenarnya hanya akan menghalangi proses percepatan produksi manusia siap kerja. Bila produksi manusia melambat maka jumlah keuntungan yang bisa didapatkan dalam trading process juga akan hilang meluap. Artinya ada indikasi bahwa pendidikan kita saat ini memang secara sengaja mereduksi arti pendidikan yang sebenarnya, yaitu membentuk manusia yang seutuhnya. Selama itulah bangsa kita tidak akan pernah tampil sebagai pemain dalam percaturan global karena bangsa kita tetap akan menjadi bangsa pekerja yang miskin.
Pendidikan yang membentuk manusia yang menegara dan Negara yang memanusia akan bisa tercapai bila terlebih dahulu ada divorcing process atau pemutusan mata rantai pengaruh Negara dalam pendidikan. Pendidikan seharusnya mempengaruhi Negara dan bukan sebaliknya. Hegemoni pemerintah dalam pendidikan hanya akan semakin mereduksi arti pendidikan seutuhnya mengingat pemerintah adalah organ impermanent yang setiap waktu bisa berubah sesuai dengan ideology politis yang sedang berkembang. Perlu disadari bahwa pendidikan memiliki nilai tersendiri yang terpisah secara ideologis dengan seluruh aliran politik di dunia tetapi terkait secara konstruktif terhadap ideologi yang ada di dunia. Melalui pendidikan manusia mampu mengevaluasi ideology yang ada dan memodifikasi atau bahkan merubahnya demi menjaga keharmonisan hidup manusia dan alam.
Melalui strategi regulasi pendidikan, sudah saatnya ada garis batas tegas mengenai wilayah peran pemerintah dalam pendidikan. Pemerintah hanya memiliki hak dalam pengurusan hal-hal yang sifatnya operasional. Secara konseptual, pemerintah hanya berhak untuk memberikan alternative dan secara berkala memberi kesempatan sekolah dan segala komponen masyarakat terkait untuk mendesain konsepnya sendiri tentu dengan batas-batas edukatif. Standarisasi semacam Ujian Akhir Nasional dalam hal ini hanya akan bersifat kontra produktif bagi pembentukan manusia seutuhnya. Standarisasi macam apapun hanya akan semakin menurunkan martabat manusia yang unik dan equal.
Dari semuanya yang paling penting untuk disadari adalah mengenai pengembalian peran filsafat pendidikan dalam proses pembentukan konsep pendidikan Indonesia. Keseimbangan antara faktor operasional dan konseptual pendidikan Indonesia akan tercapai bila focus pendidikan Indonesia tidak melulu berkutat dalam masalah operasional semacam pendanaan atau anggaran belanja saja. Mengerikan bila tahun ini kita masih melulu meributkan masalah BOS (Biaya Operasional Sekolah) ketimbang sejatinya arah pendidikan kita.

1 comment: