biografi dan pemikiran syekh siti jenar


BIOGRAFI SYEKH SITI JENAR
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah saw diakui oleh Rabithah Azmatkhan, sebagai berikut:
Syeikh Siti Jenar bin Datuk Shaleh bin Sayyid Abdul Malik bin Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, Yaman dimakamkan di Oman) bin Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin  Al-Imam Sayyidina Hussain bin Imam Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad SAW.[1]
Syekh Siti Jenar yang bernama asli Syekh Abdul Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah anak dari Datuk Sholeh. Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon.[2] Akan tetapi di dalam buku lain menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar yang bernama asli Ali Hasan adalah anak dari raja-pendeta di daerah cirebon. Dia sangat kritis tatanan yang ada. Sehingga kadang-kadang ayahnya tersinggung dengan perilakunya.[3] Sampai suatu saat ketika ayahnya marah, ia disihir menjadi cacing dan dibuang kesungai.[4]
Pada waktu Sunan Bonang yang mengajari ilmu ghaib kepada sunan kalijaga. Sunan Bonang mengajari ilmu tersebut diatas sebuah perahu di dalam danau, dengan harapan tidak ada orang lain yang dengar.
Ketika sedang asyik mengajar ilmunya, Sunan Bonang merasa bahwa perahunya bocor. Dengan mengambil tanah liat ia menambalnya. Rupanya dalam tanah liat tersebut ada seekor cacing.
Sunan Bonang merasa ada satu makhluk yang telah ikut mendengarkan ajarannya. Dengan kesaktiannya, Sunan Bonang lalu merubah bentul asli dari cacing itu. Lalu berubah menjadi seorang laki-laki yang kemudian diberi nama Siti Jenar. Siti berarti lemah, Jenar berarti merah.
Pada mulanya Sunan Bonang merasa marah kepada Siti Jenar karena dinilai lancang. Namun akhirnya ia mau membawa Siti Jenar untuk bergabung dengan para wali lainnya, karena ia dinilai memiliki pengetahuan agama yang mumpuni.[5]

AJARAN SYEKH SITI JENAR
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial adalah:
1.      Konsep Hidup dan Mati
Syekh siti Jenar memandang hidup hakiki ialah hidup sesudah kematian. Pandangan hidup dan kesadaran keagamaan orang jawa juga lebih didasari hakekat hidup abadi yang baru dimulai sesuadah kematian tersebut. Dan dari sini pula seluruh pandangan wali yang dituduh murtad ini didasari hakikat hidup yang baru dimulai ketika seseorang meninggal dunia tersebut.[6]
Bila diamati sepintas, pandangan Syekh siti jenar ini seolah-olah tanpa didukung dalil al-Qur’an dan Hadits. Padahal dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “manusia yang hidup di bumi ini sesungguhnya tidur, dan bangun ketika matinya”.[7] Kemudian didalam surat al-Zumar (39): 30 dinyatakan sebagai berikut:
y7¨RÎ) ×MÍhtB Nåk¨XÎ)ur tbqçFÍh¨B ÇÌÉÈ
Artinya: “ Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula).”[8]

Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa alam yang kita tempati saat ini disebut “alam kubur”. Dalam bahasa Arab, arti asal dari kata kerja “qa-ba ra” adalah memendam, menyembunyikan. Karena banyak hal yang disembunyikan oleh  manusia. Dulu oang menemukan padi tanpa dipatenkan, orang yang menemukan tempe tanpa dipatenkan. Itu karena mereka bekerja secara lil lahi ta’ala, demi Dia yang Maha Tinggi. Tetapi sekarang, jika ada orang yang menemukan sesuatu, dia buru-buru mematenkannya. Ia takut hasil penemuannya itu dicuri orang, atau dimanfaatkan orang lain.[9]

2.      Sang Diri dan Allah
Menurut syekh siti jenar  manusia tersusun dari elemen-elemen adalah lapisan jasmani atau jasad, lapisan nafsani atau jiwa, dan lapisan ruhani atau sukma. Masing-masing tubuh ada instrumen atau alat untuk menangkap kebenaran pada dimensinya.
Tubuh jasmani mempunyai enam indra, yaitu: telinga, mata, lidah, kulit-daging-tulang, pringsilan(piranti untuk membangkitkan nafsu seksual, keinginan, kemarahan, dan berbagai jenis yang terkait dengan jasmani)
Badan nafsani atau lapisan jiwa merupakan badan halus yang ada didalam tubuh manusia yang hidup.  Badab nafsanilah yang menyebabkan semua organ jasmani bekerja sesuai fungsinya.
Badan ruhani merupakan singgasana bagi Sang Pribadi. Setelah manusia sempurna kejadiannya, maka Allah meniupkan Ruh-Nya kedalam atau pada Sang Pribadi. Dengan demikian, kita hendaknya tidak memahami pengertian badan ruhani dan Ruh-Nya.dengan adanya Ruh-Nya yang ditiupkan ke dalam diri manusia, maka manusia sempurna juga menyandang kedua puluh sifat-sifat-Nya.
Ketujuh badab Ruhani dan masing-masing fungsinya sebagai berikut:
1.      Ruh Jasmani berfungsi sebagai memberikan hidup pada badan jasmani.
2.      Ruh Rabani berfungsi untuk mengatur dan mengoordinasikan seluruh sel, organ dan jaringan tubuh.
3.      Ruh Rohmani berfungsi untuk memenuhi keinginan dan nafsu.
4.      Ruh Rohani berfungsi untuk memenuhi keingintahuan dan pengetahuan.
5.      Ruh Nurani berfungsi sebagai pemberi cahaya hidup dan menghidupkan cahaya bagi segenap cinta, kasih, nilai-nilai hidup.
6.      Ruh nabati berfungsi untuk menghidupi angan-angan, imajinasi, akal pikiran dan budi luhur.
7.      Ruh idhafi (roh ilapi) berfung untuk memberi hidup dan menggerakkan kehidupan atma atau Sang Diri (Sang Pribadi).[10]   
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa, karena makhluk merupakan bagian dari Tuhan, maka makhluk selama hidupnya juga mampu bersentuhan dengan Allah yang qadim. Cara untuk bisa “menyentuh” Tuhan adalah menggunakan unsur yang ghaib, karena wujud Tuhan adalah ghaib. Wujud yang ghoib dalam diri manusia adalah jiwa. Oleh karena itu, cara untuk menyentuh Tuhan adalah dengan perangkat jiwa. Perangkat materi tidak akan bisa mencapai Tuhan, karena materi merupakan lapisan dasar ayng dangkal, bersifat reaktif, dan juga bersifat kesementaraan. Pengetahuan dan kebenaran yang ditunjukkan oleh materi juga bersifat sementara, berada dalam ruang dan waktu. Sifat ini berbeda dengan jiwa yang mampu menembus dimensi ruang dan waktu. Jiwa yang bersifat ghaib ini lebih abadi dibanding dengan raga yang materi. Maka, jiwa merupakan satu-satunya instrumen yang tepat untuk mendekati Tuhan.[11]

3.      Penolakan Syariat
Dalam sarasehan para wali dijelaskan bahwa pengalaman syariat itu dimaksudkan untuk dapat hidup dengan budi pekerti yang baik. Karena itu, dalam beragama seseorang harus terus menerus meningkatkan kualitas akhlak atau budi pekertinya.bermula menjadi orang muslim, lalu meningkatkan menjadi mukmin, dan akhirnya menjadi orang yang bertakwa.[12]
Sedangkan menurut pandangan Syekh Siti Jenar, pada masa itu, kelima rukun Islam sudah berubah maknanya dalam hidup ini. Semua telah menjadi formalitas balaka. Tak ada manfaat yang didapat oleh orang Jawa dalam menjalankan syariat yang lima itu. Semua tidak diturut atau dipegangi. Tak bisa dipegangi artinya kelima rukun itu tak dapat dirasakan manfaatnyabagi kesejahteraan hidup.dan hanya digunakan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.[13]











DAFTAR PUSTAKA

Departemen RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro. 2005
Chodim, Achmad. Syekh Siti Jenar Makna Kematian. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2002
                              . Syekh Siti Jenar Makrifat dan Makna Kehidupan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2008
                              . Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2003
Kandito, Argawi. Pengakuan-pengakuan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2011
Mulkhan, Abdul Munir. Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kesampurnan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2004
Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar Peran Walisongo dalam Mengiislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008
Wahyudi, Agus. Makrifat Jawa Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan Wali Songo. Jakarta: Buku Kita. 2007


[2] Prof. Dr. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar Peran Walisongo dalam Mengiislamkan Tanah Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 364-365
[3] Achmad Chodim, Syekh Siti Jenar Makna Kematian, (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 4
[4] Prof. Dr. Hasanu Simon, hlm. 365
[5] Agus Wahyudi, Makrifat Jawa Makna Hidup Sejati Syekh Siti Jenar dan Wali songo, (Jakarta: Buku Kita, 2007), hlm. 33-34
[6]Abdul Munir Mulkhan, Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kesampurnan Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), hlm. 136
[7] Achmad Chodim, Syekh Siti Jenar Makna Kematian, hlm. 22-23
[8]Departemen RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), hlm. 461  
[9] Achmad Chodim, Syekh Siti Jenar Makna Kematian, hlm. 24-25
[10]Achmad Chodim, Syekh Siti Jenar Makrifat dan Makna Kehidupan, (Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 242-246
[11]Argawi Kandito, Pengakuan-pengakuan Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011 ), hlm. 71-72
[12] Achmad Chodim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 177
[13] Achmad Chodim, Syekh Siti Jenar Makna Kematian, hlm. 195

4 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf mas muhammad daud. Saya belum tahu masalah itu. Mungkin ini karena kekurangan saya tidak menggali secara mendetail lagi tentang syekh siti jenar

      Delete
    2. This comment has been removed by the author.

      Delete