I.
PENDAHULUAN
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku sebagai akibat pengalaman atau
latihan. Proses perubahan tingkah laku atau proses belajar yang terjadi pada
diri individu itu merupakan proses internal psikologis yang tidak dapat
diketahui secara nyata.
Dari dahulu hingga sekarang para ahli psikologi dan pendidikan tidak
bosan-bosannya membicarakan masalah belajar. Penelitian demi penelitian sudah
pula dilakukan. Berbagai teori belajar telah tercipta sebagai hasil kerja keras
dari penelitian. Kritik-kritik terhadap teori-teori belajar yang sudah ada dan
dirasakan mempunyai kelemahan selalu dilakukan oleh para ahli. Teori-teori
belajar yang barupun hadir di belantikan kehidupan, mengisi lembaran sejarah
dalam kehidupan. Begitulah adanya.
Namun, perlu disadari bahwa setiap teori belajar selalu tersimpan kelemahan
di balik kelebihannya. Bagi pemakai teori-teori belajar diharapkan memahami
kelemahan dan kelebihan teori-teori belajar yang ada agar dapat mengusahakan
apa yang seharusnya dilakukan dalam perbuatan belajar.
Oleh karena terjadinya proses belajar itu tidak dapat diketahui secara
jelas maka timbullah perbedaan pendapat dikalangan para ahli psikologi,
sehingga akibatnya terjadi bermacam-macam teori belajar.
II. RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Definisi Teori Belajar?
B.
Apa Macam-macam Teori Belajar?
C.
Bagaimana Aplikasi Teori Belajar dalam
Pendidikan?
III. PEMBAHASAN
A. Definisi Teori Belajar
Teori ialah pendapat yang dikemukakan oleh seoarang ahli. Pendapat ahli
yang bersifat teoritis itu biasanya berisi “konsep” (pengertian atau definisi)
dan “prinsip” (aplikasi konsep atau cara-cara pelaksanaan konsep tersebut).
Dengan demikian, teori-teori belajar dalam pokok bahasan ini harus
diartikan dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip tentang belajar yang
dikemukakan oleh para ahli psikologi.[1]
Teori merupakan sumber pengetahuan yang keempat. Kalau didevinisikan secara
singkat menurut McKeachie, teori ialah seperangkat asas yang tersusun tentang
kejadian-kejadian tertentu dalam dunia nyata. Satu ciri teori yang penting
ialah bahwa teori iru “membebaskan penemuan penelitian secara individual dari
kenyataan sementara waktu dan tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang
lebih luas”.
Secara khusus, teori memberikan dua kelebihan dari pada sumber-sumber
pengetahuan yang lain. yang pertama ialah bahwa asas itu, tidak seperti halnya
maksim, dapat diuji. Eksperimen dapat dilakukan untuk menentukan apakah asas
itu cocok pada kenyataannya. Yang kedua ialah bahwa tidak seperti hasil
pengamatan yang terlepas-lepas, teori mengandung generalisasi tentang
gejala-gejala dan dengan demikian dapat diterapkan pada beberapa keadaan.[2]
B. Macam-macam Teori Belajar
Untuk lebih memperjelas pengertian kita tentang apakah belajar itu, dan
bagaimana proses belajar itu terjadi, berikut ini akan dikemukan beberapa teori
belajar, yang merupakan hasil penyelidikan para ahli psikologi sesuai dengan
aliran psikologinya masing-masing.
Teori belajar yang terkenal dalam psikologi antara lain:
1. Teori Conditioning
a. Teori Condisioning dari Pavlov dan Watson
Ivan Pavlov adalah seorang ahli Psikologi Refleksologi dari Rusia
(1849-1936) yang pada tahun 1920 mengadakan percobaan dengan anjing. Moncong
anjing dibedah sehingga kelenjar ludahnya berada di luar pipinya dan dimasukkan
di kandang gelap serta ada sebuah lubang di depan moncong tempat menyodorkan
makanan atau menyorotkan cahaya. Pada moncong yang dibedah dipasang selang yang
dihubungkan dengan tabung yang ada di luar kandang sehingga dapat diketahui
keluar atau tidaknya air liur pada waktu percobaan. Hasil percobaan mengatakan
bahwa gerakan refleks itu dapat dipelajari dan dapat berubah karena mendapat
latihan, sehingga dapat dibedakan dua macam refleks bersyarat atau refleks yang
dipelajari, yaitu keluarnya air liur karena menerima atau bereaksi terhadap
warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu.[3]
John B. Watson merupakan orang pertama di Amerika Serikat (1878-1958) yang
mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Ivan Pavlov.[4]
Menurut Watson, manusia sejak lahir memilki beberapa reflek dan reaksi-reaksi
emosional seperti takut, marah, dan cinta. Semua tingkah laku manusia itu
terbentuk oleh hubungan stimulus respon melalui conditioning.[5]
Watson mengadakan eksperimen-eksperimen tentang perasaan takut pada
anak dengan menggunakan anak 11 bulan, Albert, dengan menggunakan tikus dan
kelinci. Dari hasil percobaannya dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut
pada anak dapat diubah dan dilatih.
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu
proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang
kemudian menimbulkan reaksi (response). Untuk menjadikan seseorang itu belajar
haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam belajar
menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang kontinu. Yang
diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis. [6]
b. Teori Operant Condisioning dari Skinner
Teori B. F. Skinner tahun 1930, melalui eksperimen seekor tikus yang
ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian terkenal dengan nama “Skinner Box”.
Eksperimen mempunyai kemiripan dengan trial and error learning oleh Thorndike.
Tingkah laku belajar menurut Thorndike selalu melibatkan kepuasan. Sedangkan
menurut Sekinner, fenomena tersebut melibatkan reinforcement atau penguatan.
Dalam eksperimen terhadap tikus-tikus dalam kotak, digunakan suatu tanda
ntuk memperkuat respon (disciminative stimulus) berupa tombol lampu dan
pemindah makanan. Reinforcement stimulus tersebut berupa makanan. Teori
semacam ini mengacu pada dua hukum yang berbeda, yakni law operant
contioning dan law operant extinction. law operant contioning jika
timbulnya tingkah laku operant diiringi oleh stimulus penguat, maka kekuatan
tingkah laku tersebut akan meningkat. Sebaliknya, menurut law operant
extinction, jika timbulnya tingkah laku operant yang telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka
kekuatan tingkah laku tersebut akan menurun.[7]
c. Teori Condisioning dari guthrie
R. Guthrie (1886-1959) memperluas penemuan Watson tentang belajar. Ia
mengemukakan prinsip belajar yang disebut “the law of assocition” yang berbunyi:
suatu kombinasi stimuli yang telah menyertai suatu gerakan itu, apabila
kombinasi stimuli itu muncul kembali. Dengan kata lain, jika anda mengerjakan
sesuatu dalam stimulasi tertentu, maka nantinya dalam situasi yang sama anda
akan mengerjakan hal yang serupa lagi.
Menurut Guthrie, belajar memerlukan reward dan “kedekatan” antara stimulus
dan respon. Guthrie berpendapat, bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula
buruk. Efektif tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan
murid belajar ataukah tidak.[8]
2. Teori Connectionism
Tokoh dari teori ini adalah Edward L. Thordike (1874-1949). Prinsip teori
Thorndike adalah belajar asosiasi antara kesan panca indra (sense impression)
dengan implus untuk bertindak (impulse to action). Asosiasi itulah yang menjadi
lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya
kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itulah, teori Thorndike disebut connectionisme
atau bond psychology.
Awal eksperimennya dilakukan menggunakan kucing. Setelah eksperimen terhadap
kucing tersebut berhasil, diteruskannya dengan subjek yang lainnya mulai
anjing, ikan, dan kera. Awalnya dipilih kucing yang masih muda dibiarkan lapar,
kemudian dimasukkan kedalam kotak (puzzle box) bentuk pintu kurungan dibuat
dengan sedemikian rupa sehingga kucing menyentuh tombol tertentu pintu kotak
akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai dagih yang ditempatkan diluar
kotak sebagai penarik bagi kucing yang lapar itu. Pada usaha pertama kucing
belum terbiasa memecahkan problemnya, sampai kemudian menyentuh tombol dan
pintu terbuka. Waktu yang dibutuhkan dalam usaha pertama agak lama. Percobaan
yang sama dilakukan berulang-ulang.[9]
Ciri-ciri belajar connectionisme atau pula disebut dengan “trial-and-error”
yaitu:
a. Motif pendorong aktivitas
b. Adanya berbagai respon terhadap situasi
c. Adanya eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
d. Adanya kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Dari penelitian itu, Thorndike menemukan hukum-hukum:
a. Law of Readiness: jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan
untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memmuaskan.
b. Law of Exercise: makin banyak dipraktekkan atau digunakannya hubungan
stimulus respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan
“reward”.
c. Law of Effect: bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon, dan
disertai dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi
lebih kuat. Bilamana hubungan disertai “state of affatrs” yang mengganggu, maka
keuatan hubungan menjadi berkurang.[10]
3. Teori Menurut Psikologi Gestalt
Peletak dasar teori ini adalah Mex Wertheimer (1880-1943) yang meneliti
tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt
Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci hukum-hukum pengamatan;
kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang “insight” pada
simpanse.[11]
Dalam belajar menurut teori Gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian
pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang
terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengeri atau
memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan
daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight
(pengertian) adalah sebagai berikut.
a. Insight tergantung pada kemampuan dasar.
b. Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan (dengan apa
yang dipelajari).
c. Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa,
sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati.
d. Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jauh dari langit.
e. Balajar dengan insight dapat diulangi.
f. Insight sekali didapat, dapat digunakan untuk menghadapi situasi-situasi
yang baru.[12]
C. Aplikasi Teori Belajar dalam Pendidikan
Aplikasi/penerapan klasikal kondisioning di kelas adalah
dengan cara:
1.
Menjadikan lingkungan belajar yang nyaman dan hangat,
sehingga kelas menjadi satu kesatuan (saling berhubungan) dengan emosi positf
(adanya hubungan persahabatan atau kekerabatan)
2.
Pada awal masuk kelas, guru tersnyum dan sebagai
pembukaan bertanya kepada siswa tetang kabar keluarga, hewan peliharaan/hal
pribadi dalam hidup mereka.
3.
Guru berusaha agar siswa merespek satu sama lain pada
prioritas tinggi di kelas, misalnya, pada diskusi kelas guru merangsang siswa
untuk berpendapat.
4.
Pada sesi tanya jawab, guru berusaha membuat siswa berada
dalam situasi yang nyaman dengan memberikan hasil (positf outcome – masukn
positif). Misalnya, jika siswa diam/tidak aktif, maka guru bisa memulai dengan
pertanyaan ”apa pendapatmu tentang masalah ini”, atau bagaimana kamu membandingkan
dua contoh ini”. Dengan kata lain, guru memberi pertanyaan yang dapat memancing
siswa untuk berpendapat. Namun jika dengan cara inipun siswa tidak sanggup/
segan untuk merespon, maka tugas guru untuk membimbing/ memacu sampai siswa
memberi jawaban yang dapat diterima.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
menerapkan ketiga teori ini, berikut adalah
ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:
1.
Mementingkan pengaruh lingkungan
2.
Mementingkan bagian-bagian
3.
Mementingkan peranan reaksi
4.
Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar
melalui prosedur stimulus respon
5.
Mementingkan peranan kemampuan yang sudah
terbentuk sebelumnya
6.
Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan
dan pengulangan
7.
Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya
perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi dari teori ini, para
guru akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga
tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh
guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti
contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran
disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Sementara itu, tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan
pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil
yang dapat diukur dan diamati, serta kesalahan harus segera diperbaiki.
Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi
kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan ketiga teori ini adalah
tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Dimana perilaku yang diinginkan
mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai, mendapat
penghargaan negatif. Dalam hal ini, evaluasi atau penilaian didasari atas
perilaku yang tampak/kelihatan.[13]
Dapat disimpulkan, dalam proses pendidikan
di sekolah ketiga jenis teori belajar diatas harus diterapkan guru guna
memperkaya pengetahuan belajar siswa. Agar siswa selain memiliki bekal
pengetahuan, sikap, dan kerampilan, juga siswa memiliki bekal kemampuan
berpikir, mengingat dan kemampuan memecahkan masalah.[14]
IV. KESIMPULAN
Teori ialah pendapat yang dikemukakan oleh seoarang ahli. Pendapat ahli
yang bersifat teoritis itu biasanya berisi “konsep” (pengertian atau definisi)
dan “prinsip” (aplikasi konsep atau cara-cara pelaksanaan konsep tersebut).
Macam-macam Teori Belajar, ada 3, diantaranya yaitu: Teori Conditioning, Teori
Connectionism, Teori Menurut Psikologi Gestalt.
Dalam proses pendidikan di sekolah ketiga jenis teori belajar diatas harus
diterapkan guru guna memperkaya pengetahuan belajar siswa. Agar siswa selain
memiliki bekal pengetahuan, sikap, dan kerampilan, juga siswa memiliki bekal
kemampuan berpikir, mengingat dan kemampuan memecahkan masalah
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2010
Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara. 2011
Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Jakarta: Asdi
Mahasatya. 2011
E. Bell, Margaret. Belajar dan Membelajarkan.
terj. Prof. Dr. Munandir, M.A. Jakarta: Rajawali. 1991
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosda Karya. 2011
Sabri, Alisuf. Psikologi Pendidikan Berdasarkan
Kurikulum Nasional. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 2010
Sabri, Alisuf. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya. 2007
Soemanto, Wasty. Psikologi Pendidikan. Malang,
Renika Cipta. 1990
http://blog.binadarma.ac.id/muhammadinah/?p=97. diakses pada 25 juni 2012. 13.27
[2] Margaret E. Bell, Belajar dan Membelajarkan, terj. Prof. Dr.
Munandir, M.A., (Jakarta: Rajawali, 1991), hlm. 5
[5]M. Alisuf, Op. Cit, hlm. 67
[6] Drs. M. Ngalim Purwanto, MP., Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2011), hlm. 91
[7] Prof. Dr. H. Baharuddin. M.Pd.I, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 169-170
[8]Drs. Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Malang, Renika Cipta,
1990), hlm. 119
[10]Drs. Wasty Soemanto, Op. Cit, hlm. 117-118
[11]Drs. Wasty Soemanto, Ibid, hlm. 121
[12] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Asdi
Mahasatya, 2011), hlm. 19
[14] M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan Berdasarkan Kurikulum Nasional,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2010), hlm. 76-77
Mainkan semua jenis permainan dalam 1 User ID dan dapatkan bonus welcome 50% serta bonus deposite 10% tanpa syarat dan Rollingan 1% setiap minggu nya :)
ReplyDeleteARTIKEL SLOT
ARTIKEL POKER
ARTIKEL CASINO
DAFTAR SLOT
DAFTAR POKER
SLOT VAVA
AGEN PLAYTECH
AGEN SLOT GAME
AGEN JOKER123
MABAR99
AGEN POKER ONLINE
BANDAR CEME
AGEN OMAHA
SLOTACE333
AGEN CASINO ONLINE TERBAIK
LIVE CASINO
BANDAR CASINO
CASINO ONLINE
ROULETTE