filsafat Islam


IBNU BAJJAH

II.      RUMUSAN MASALAH
                A.     Jelaskan Biografi Ibnu Bajjah?
                B.     Apa Saja Hasil Karya Ibnu Bajjah?
                C.     Bagaimana Ibnu Bajjah?

III.   PEMBAHASAN
                A.     Biogafi Ibnu Bajjah
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalus al-Samgusti ibn Bajjah. Ibnu Bajjah dilahirkan di Saragossa, Andalus pada tahun 475 H (1082 M), berasal dari keluarga al-Tujib karena itu ia dikenal dengan sebagai al-Tujibi yang yang bekerja sebagai pedagang emas (Bajjah: emas). Tetapi di Barat ia lebih dikenal dengan nama Avempace.[1]
Menerut beberapa literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya filosof anasich, tetapi ia juga seorang sainstis yang menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musikus, dan matematika. Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik, sehingga Gubernur Saragossa Daulat al-Murabith, Abu Bakar Ibnu Ibrahim al-Sahrawi mengangkatnya sebagai wazir.[2] 
Akan tetapi, ketika waktu Saragossa jatuh ke tangan Raja Alphonso I dari Aragon pada tahun 512 H/ 1118 M., Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Seville, dimana ia bekerja sebagai seorang dokter. Setelah itu, ia pindah ke kota Granada, dan dari sini ia melanjutkan pengembaraannya ke Afrika Utara, pusat kerajaan Dinasti Murabithin Baeber. Ketika tiba di kota Syatibah, ia ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahim Ibn Yusuf Ibn Tasifin yang menuduhnya sebagai pembawa bid’ah dantermasuk golongan murtad. Hal ini karena pandangan falsafinya pada waktu itu tidak diterima oleh masyarakat Islam di Magribi yang sangat kental dengan faham sunni ortodoks.[3]
Kondisi masyarakat Baeber yang belum berfikir filosofis tersebut, menyebabkan ia melanjutkan pengembaraannya ke Fez di Marokko. Disini ia masih dapat melanjutkan karirnya sebagai ilmuwan dibawah perlidungan penguasa Murabithun yang ada disana. Bahkan, hubungannnya dengan pihak penguasa istana berjalan dengan baik, sehingga ia diangkat sebagai menteri oleh Abu Bakar Yahya Ibn Yusuf Ibn Tasifin untuk waktu yang lama. Akhirnya ia meninggal pada tahun 533 H (1138 M) di Fez, dan dimakamkan disamping makam Ibn ‘Arabi. Menurut salah satu riwayat, ia meninggal karena diracun oleh seorang dokter bernama Abu al-‘Ala Ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.[4] 

                B.     Karya Ibnu Bajjah
Diantara karya Ibnu yang terpenting adalah:
1.      Risalah al-Wada’, berisi tentang ketuhanan atau penggerak pertama. Juga tentang hubungan manusia dengan akal fa’al yang melimpah dari Tuhan, dan tentang keabadian jiwa. Juga mengeritik al-Ghazali yang menekankan pentingnya ilmu tasawuf sebagai satu-satunya jalan berhubungan dengan Tuhan secara menolak kemampuan akal dalam masalah ini.
2.      Tadbir al-Mutawahhid, kitab ini sangat populer sebagai karya Ibnu Bajjah dan menduduki temapat khusus dalam seluruh karangannya. Kitab ini serupa dengan kitab al-Farabi al-Madinah al-Fadhilah. Hanya ia lebih menekankan kehidupan individu dalam masyarakat negara sebagai mutawahhid dari pada al-Farabi yang menekankan kajiannya pada  hal ihwal kota dan politik.  
3.      Kitab al-Nafs, pembahasannya berkisar tentang jiwa.
4.      Risalah al-Ittishal, berisi uraian tentang hubungan manusia dengan akal fa’al.[5]
5.      Risalah tentang Hilangnya Pada Masa Perang Dunia II
6.      Risalah-risalah penjelas atas risalah-risalah al-Farabi dalam masalah lagika.
7.      Tardiyyah, berisi tentang syair pujian.[6]
           
                C.     Pemikiran Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah filosof Islam Barat yang pertama mempelajari secara mendalam filsafat al-Farabi, dan Aristoteles.[7] Dibawah ini akan dijelaskan tentang pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Bajjah:
1.    Epistimologi
Sebagai tokoh pemula Filsafat Islam di Dunia Islam Barat, Ibnu Bajjah tidak lepas dari pengaruh saudara-saudaranya, Filosof di Dunia Islam Timur, terutama al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam bukunya yang terkenal Tadbir al-Mu’awahhid, Ibnu Bajjah mengemukakan teori al-Ittishal, yaitu bahwa manusia mampu berhubungan dan meleburkan diridengan Akal Fa’al atas bantuan ilmu dan pertumbuhan insaniah.
Berkaitan dengan teori Ittishal tersebut, Ibnu Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistemologi yang berbeda corak yang dikemukakan al-Ghazali di Dunia Timur. Kalau al-Ghazali berpendapat bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih dipercaya, maka Ibnu Bajjah mengkritik pendapat tersebut, dan menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai kepada puncak pengetahuan dan melebur kedalam akal Fa’al, bila ia telah bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat.[8] 
Yang dimaksud dengan perkataan tadbir (dari judul buku Tadbir al-Mutawihhid) ialah mengayur hal ihwal manusia dan menempatkan persoalan menurut proposisinya, bukan berdasarkan pengamatan dan pengetahuan semata-mata. Sedangkan Mutawahhid adalah manusia yang hidup menyendiri, hidup didalam menara gading, merenungkan berbagai ilmu teoritis.[9]
Menyendiri yang dikemukakan Ibnu Bajjah bukanlah menjahui manusia, melainkan tetap berhubungan dengan masyarakat. Hanya saja ia harus selalu bisa menguasai dirinya serta hawa nafsunya dan tidak terbawa oleh arus keburukan-keburukan kehidupan masyarakat.[10] Apabila manusia (para filosof) tidak melakukan hal deikian, mereka tidak akan mungkin dapat berhubungan dengan Akal Fa’al karena pemikiran mereka akan merosot dan tidak pernah mencapai Akal Mustafad, yakni akal yang dapat brhubungan dengan Akal Fa’al.[11]

2.    Metafisika (Ketuhanan)
Menurut Ibnu Bajjah segala yang ada (al-Maujudat) terbagi dua: yang bergerak dan tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yang akhir rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Penggerak ini bersifat azali. Gerak jisim mustahil timbul dari subtansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas), yaitu ‘aql. ‘Aql inilah yang disebut dengan Allah (‘aql, ‘aqil, dan ma’qul), sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina sebelumnya.[12]  
Allah menganuangrahkan manusia rahmad dan kapasitas, melalui hal itu dapat diketahui perbedaan antara manusia. Tetapi, keduanya ada yang merupakan pembawaan sejak lahir, dan tidak perlu diupayakan. Disamping itu, ada rahmad dan kapasitas yang harus diusahakan sesuai dengan kehendak Tuhan, dibawah bimbingan para nabi. Dan untuk mencapai kedekatan dengan Allah, Ibnu Bajjah menganjurkan untuk melakukan tiga hal, yaitu (a) membuat lidah kita selalu mengingat Allah dan memuliakan-Nya, (b) membuat organ-organ tubuh kita bertindak sesuai dengan wawasan hati, dan (c) menghindari segala yang membuat kiata lalai mengingat Allah atau membuat hati berpaling dari-Nya. Ini semua mesti dilakukan terus-menerus sepanjang hidup.[13]

3.    Moral
Tujuan hidup manusia di Dunia ini, kata Ibnu Bajjah adalah memperoleh kebahagiaan.[14] Untuk itu, Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih dan luhur.[15]
Untuk menyatakan apakah suatu tindakan itu bersifat hewani atau manusiawi, perlulah memiliki spekulatif di samping kemauan. Dengan memperhatikan sifat kemauan dan spekulatif, Ibnu Bajjah membagi kebajikan menjadi dua jenis, kemajikan formal dan spekulatif. Kebajiakan formal merupakan pembawaan sejak lahir tanpa pengaruh kemauan dan spekulasi, seperti kejujuran seekor anjing, sebab mustahil bagi seekor anjing untuk tidak jujur. Kebajikan ini tidak bernilai pada manusia. Kebijakan spekulatif berdasarkan pada kemauan bebas dan spekulasi. Tindakan yang dilakukan demi kebenaran dan bukan untuk memenuhi keinginan alamiah disebut disebut tindakan ketuhanan bukan manusiawi, sebab hal ini jarang terdapat manusia. Yang baik, menurut Ibnu Bajjah, merupakan eksisrtensi, dan yang jahat merupakan ketiadaan. Dengan katalain; yang jahat baginya benar-benar tidak jahat.[16]

4.    Politik
Pandangan politik Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik al-Farabi. Sebagaimana al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl al-Madinat al-Fadhilat, ia (Ibnu Bajjah) juga membagi negara menjadi negara utama (al-Madinat al-Fadhilat) atau sempurna dan negara yang tidak sempurna.[17]
Selain itu, Ibnu Bajjah juga setuju dengan al-Farabi yang beranggapan bahwa individu yang berbeda dari sebuah bangsa memiliki watak yang berbeda pula, sebagian dari mereka lebih suka memerintah dan sebagian yang lain lebih suka diperintah. Tapi Ibnu Bajjah memberikan tambahan pada sistem al-Farabi ketika dia mendesakkan pendapatnya bahwa manusia yang memerintah secara sendirian itu (mutawahhid atau filosofyang berfikir tajam) harus selalu berada lebih tinggi dari orang-orang yang lain pada kesempatan-kesempatan tertentu. Meskipun menghindari orang lain itu sendiri tidak diinginkan, namun hal itu diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Dia juga menasehati agar filosof menemui masyarakatnya hanya pada beberapa kesempatan tertentu dalam waktu sebentar saja, dan dia harus pindah ke nagara-negara tempat dia dapat memperoleh pengetahuan; perpindahan itu harus dilakukan dibawah hukum-hukum politik.
Dalam risalat al-Wada’ Ibnu Bajjah memberikan dua fungsi alternatif Negara: (1) untuk menilai perbuatan rakyat guna membimbing mereka mencapai tujuan yang mereka inginkan. Fungsi ini paling baik dilaksanakan di dalam Negara ideal oleh seoarang penguasa yang berdaulat. (2) Fungsi alternatif ini yaitu merancang cara-cara mencapai tujuan-tujuan tertentu, persis sebagaimana seorang penunggang, sebagai latihan pendahuluan, mengendalikan tali kekang demi menjadi penunggang yang mahir. Ini merupakan fungsi pelaksana-pelksana Negara-negara yang tidak ideal. Dalam hal sang penguasa disebut rais (pemimpin). Sang pemimpin menerapkan di negara itu suatu sistem trdisional untuk menentukan seluruh tindakan rakyat.[18]

IV.   KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas, pemakalah dapat menyimpulkan sebagai berikut:
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Yahya ibn al-Sha’igh al-Tujibi al-Andalus al-Samgusti ibn Bajjah. Ibnu Bajjah dilahirkan di Saragossa, Andalus pada tahun 475 H (1082 M). Ia meninggal pada tahun 533 H (1138 M) di Fez, dan dimakamkan disamping makam Ibn ‘Arabi. Menurut salah satu riwayat, ia meninggal karena diracun oleh seorang dokter bernama Abu al-‘Ala Ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.
Diantara karya Ibnu yang terpenting adalah: Risalah al-Wada’, Tadbir al-Mutawahhid, Kitab al-Nafs, Risalah al-Ittishal, Risalah tentang Hilangnya Pada Masa Perang Dunia II, Risalah-risalah penjelas atas risalah-risalah al-Farabi dalam masalah lagika, Tardiyyah.
Dan pembahasan filsafatnya meliputi masalah: epistemologi, metafisika, moral dan politik.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Anwam, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1995
Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1996
Hasan, Muhammad Saghir. Para Filosof Muslim. terj. Rahmani Astuti. editor. Syarif. Bandung: Mizan. 1996
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2005
Poerwantana dkk. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: Rosda.1987
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004


1 comment: